Diktator Soekarno Memanipulasi Pancasila sebagai Sumber Politisasi Agama melalui Nasakom!

  • Bagikan
MAKIN CAIR: Kritikus dan Pengamat Politik Kebangsaan, Faizal Assegaf menilai, pertemuan Surya Paloh dan Joko Widodo bisa memuluskan peluang bagi Anies dalam Pilpres 2024 mendatang.

INDOSatu.co – JAKARTA – Pergerakan Islam terhadap negara tak boleh dipandang remeh. Beratus tahun gerakan politik Islam berkontribusi besar membangkitkan umat melawan penjajah. Spirit gerakan itu muncul di seluruh wilayah nusantara. Fakta sejarah tersebut tidak terbantahkan.

Pernyataan tersebut disampaikan Kritikus dan Pengamat Politik Kebangsaan, Faizal Assegaf menyikapi peran politik Islam yang terus merosot dari rezim ke rezim. Padahal, peran tokoh-tokoh Islam era 1908 hingga Indonesia merdeka terus digelorakan untuk melawan penajajah, baik secara politik maupun ekonomi.

”Namun, setelah membuahkan kemerdekaan, berbagai elemen dan tokoh Islam diposisikan sebagai musuh negara. Diktator Soekarno memanipulasi Pancasila sebagai alat kekuasaan yang sangat bengis,” kata Faizal kepada INDOSatu.co, Rabu (5/7).

Berkedok konsensus dan doktrin Pancasila dengan klaim Tuhan Yang Maha Esa, Soekarno justru melucuti kelompok-kelompok Islam yang tidak sejalan dengan syahwat politik dan kekuasaannya.

Baca juga :   Soal Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu, Taufik Basari: Tidak Masuk Akal, KPU Harus Banding

”Di alur itu, Soekarno tampil memaksakan Nasakom (nasionalisme, agama dan komunisme) sebagai proyek ideologi rakitan paling jahat dan hipokrit melalui demokrasi terpimpin,” kata Faizal.

Nasakom adalah upaya politisasi agama dalam tafsir sekularisme Soekarno demi tujuan mendongkrak pengaruh ideologi komunis. Yang kala itu, kata Faizal, PKI menjadi mitra strategis Soekarno untuk mereduksi kekuatan Islam.

”Buasnya kekuasaan Soekarno dengan topeng Pancasila memicu perlawanan dari umat Islam. Masyumi dibubarkan dan sejumlah ulama pejuang kemerdekaan dipenjarakan bahkan dibantai secara keji dan biadab,” kata Faizal.

Kekejaman itu memantik kemarahan umat Islam bangkit melakukan perlawanan dan menggulingkan Soekarno. Momentum tersebut membuka pintu bagi lahirnya rezim militer Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dan Soeharto sebagai elit penguasa.

Baca juga :   Sikapi Ajakan Gus Ipul-Yenny Wahid, Pakar Psikologi: Ketakutan Berlebihan, Perlu Diinsyafkan

Namun celakanya, ungkap Faizal, kekuasaan Soeharto juga tak kalah jahatnya menjadikan Pancasila sebagai alat propaganda politik kekuasaan untuk menyudutkan Islam. Ihwal itu menyebabkan tragedi berdarah, pembantain umat Islam di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, dan lain-lain.

”Praktik kekuasaan Soekarno dan Soeharto, terbukti Pancasila dimanipulasi secara semena-mena. Kini, di era demokrasi dan reformasi, tetap saja eksistensi umat Islam disudutkan dengan berbagai stigma jahat: Intoleran, radikal dan teroris,” beber Faizal.

Lebih biadab lagi, jelas Faizal, eksistensi dan hak kaum muslim dalam berdemokrasi untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam difitnah dengan tudingan politisasi agama. Padahal, faktanya Soekarno-lah yang mempolitisasi agama untuk membela ideologi komunis.

”Watak politik jahat Soekarno itu muncul kembali dalam dua dekade reformasi. Dimana mereka yang berkuasa makin getol teriak paling Pancasilais. Sasarannya menyerang seluruh simbol dan kehormatan Islam secara membabi-buta,” tutur Faizal.

Baca juga :   Bela Anies, Faizal Assegaf Justru Bongkar Hutang Bosowa ke QNB Rp 7,4 Triliun

Pada saat yang bersamaan, kejahatan korupsi tumbuh subur. Berbagai potensi sumber daya alam dirampok dan sentra-sentra ekonomi strategis dicopet dengan cara yang vulgar. Dengan topeng Pancasila, aneka kejahatan diproduksi dan makin kurang ajar.

Umat Islam, kata Faizal, menjadi korban dalam waktu sangat panjang oleh tafsir Pancasila yang akal-akalan dan sangat manipulatif. Pancasila yang diniatkan sebagai tujuan keadilan berubah menjadi alat propaganda politik kekuasaan paling brutal dan penuh kebohongan.

”Stop menuding umat Islam melakukan politisasi agama. Sebab, fakta membuktikan Pancasila justru dimanipulasi oleh mereka yang berkuasa tanpa prinsip kejujuran dan keadilan dalam bernegara. Omong kosong!!!,” pungkas Faizal. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *