Demokrasi dan Keadilan Sosial: Tantangan Menuju Kepemimpinan Baru 2024

  • Bagikan

DEMOKRASI dan keadilan sosial dalam diskursus sosial seringkali membingungkan. Pertama, apakah demokrasi itu hanya sebuah “tools” untuk mewujudkan keadilan sosial? Kedua, apakah demokrasi itu, seperti juga keadilan sosial, keduanya merupakan tujuan? Ketiga, apakah sesungguhnya keduanya mempunyai korelasi?

Ketiga isu di atas penting kita pikirkan saat ini. Sebab, indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan drastis selama pemerintahan Joko Widodo dalam 8 tahun terakhir ini. Begitu juga kemiskinan terus memburuk dan ketimpangan sosial semakin menganga. Padahal, Jokowi awalnya hadir sebagai sosok pemimpin sederhana yang menawarkan diri untuk memberantas kemiskinan dan menegakkan keadilan sosial melalui berbagai jargon dan plarform perjuangannya. Seperti “Revolusi Mental”, Trisakti, Nawacita dan sebagainya. Jika indeks demokrasi memburuk, namun menghasilkan kesejahteraan yang tinggi dan merata, maka orang mampu membayangkan bahwa pengurangan demokrasi akan berkorelasi terhadap pemberantasan kemiskinan. Artinya, tingkatan demokrasi itu sekedar alat saja.

Indeks demokrasi kita (Source: A new low for global democracy|The Economist ), menurut European Inteligent Unit (EIU), dengan mengambil 5 kluster besar indikator, yakni, “ electoral process and pluralism, the functioning of government, political participation, democratic political culture and civil liberties”, menempatkan Indonesia pada ranking 52 dari 167 negara, dengan skor 6,71. EIU mengklasifikasikan 4 tingkatan dari negara otoriter, hybrid, flaw democracy dan full democracy. Dengan skor yang ada saat ini, Indonesia selalu berada pada “Flaw Democracy” atau demokrasi yang cacat. Demokrasi yang cacat disebutkan sebagai indikator yang dipenuhi hanya sebagian, seperti “fair election dan basic liberties”. Cacat dikarenakan partisipasi publik yang lebih besar tidak terjadi. Media tidak bebas dan pemerintah tidak ingin dikontrol.

Indeks demokrasi selama pemerintahan Jokowi dapat dilihat dari trend grafik di bawah ini, di mana awal-awalnya indeks tersebut naik melampaui skor 7, namun kemudian menurun drastis. Secara kualitatif, Amnesty Internasional Indonesia (AII), pada seminar tentang demokrasi di Jakarta tahun ini, seperti dikutip pada suara.com pada (20/5), menyebutkan, bahwa selama 14 tahun terakhir, tahun inilah tahun demokrasi yang paling buruk. Ketua AII mengatakan, kemunduran ini akibat pemerintah ingin mengembalikan kekuasaan menjadi sentralistik, otoriter, dan melemahkan institusi reformasi seperti KPK dan MK.

Baca juga :   People Power Itu Solusi

Sejalan dengan EIU dan AII di atas, berbagai Indonesianis, khususnya yang berbasis di Australia melihat Indonesia dalam sitasi “illiberal democracy” atau “Jokowi’s Turn-Back Authoritarian” Mereka menggambarkan bahwa demokrasi yang dijalankan Jokowi melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang benar, seperti melakukan langkah otoritarian dalam membubarkan ormas yang dianggap “radikal”. Padahal, belum ada pembuktian pengadilan atas kesalahan ormas tersebut.

Secara kualitatif, sebenarnya kita sendiri mengetahui buruknya demokrasi di era Jokowi melebihi apa yang dilukiskan beberapa lembaga di atas. Pembungkaman demokrasi, kebebasan sipil, pembungkaman media sosial dan spying, serta pemenjaraan aktivis politik kembali terjadi secara masif dalam era Jokowi. Jika AII belum meyakini situasi demokrasi kita kembali sama dengan pada masa Orde Baru, maka apa yang kita saksikan saat ini sebenarnya sudah terjadi. Rezim intelijen di masa Orde Baru kembali muncul dengan masif lagi di masa Jokowi ini.

Dalam kaitan tema diskusi kita saat ini, kita kembali bertanya, apakah kemakmuran rakyat dan keadilan sosial meningkat di masa Jokowi? Untuk mengukur kemakmuran dan keadilan sosial, kita harus melihatnya dalam dua dimensi. Pertama, dimensi statistik yang mempotret angka-angka indikator, seperti angka kemiskinan, angka pengangguran, , indeks konsumen, nilai tukar petani, upah buruh, inflasi, dll. Kedua, kita harus melihat persoalan kemiskinan secara strutural, yakni dikaitkan dengan faktor penguasaan aset produktif, akses dan fakta terkait pembiayaan, dan dukungan negara.

Angka kemiskinan BPS 2021, menunjukkan kemiskinan di Indonesia berada pada level di atas 10 persen. Angka itu juga pernah diklaim pemerintah turun di bawah 10 persen pada Maret  2019. Ini dicatat pada angka garis kemiskinan Rp 425.000. Namun, statistik penurunan kemiskinan selama 10 tahun terakhir (2011-2021), menurut Elan Satria, ketua Tim Penanggulangan kemiskinan Indonesia, hanya rerata 0,5 persen pertahun. Keberhasilan menurunkan sebesar 1 persen cuma terjadi pada 2011-2012. (mediaindonesia.com, 8/18/21).

Sebaliknya, media portal CNBC, pernah melaporkan sepanjang 5 tahun pertama kepemimpinan Jokowi, hanya berhasil menurunkan kemiskinan di atas 1 persen saja. Atau jauh lebih kecil. Menurut CNBC, yang dirilis pada (15/1/2020, di era Jokowi hanya terjadi penurunan kemiskinan sebesar 1,04 persen. Sebaliknya di era 2009-2014 tingkat kemiskinan berhasil turun sampai 3,19 persen poin dan pada 2004-2009, tingkat kemiskinan juga turun l 2,51 persen poin serta 1999-2004 turunnya lebih besar, yakni 6,83 persen.

Baca juga :   Sistem Hukum dan Demokrasi yang Tergadaikan

Seandainya sumber resmi pemerintah kita rujuk, penurunan dengan angka 0,5 persen pertahun, Indonesia akan terjebak dalam situasi yang bolak-balik begitu saja. Artinya hanya seperti mengutak atik angka-angka statistik, namun tidak merubah substansi untuk pengentasan kemiskinan. Jika kita lihat lebih dalam di daerah, angkanya lebih memperihatinkan. Misalnya di Sumatera Selatan yang hanya menurunkan kemiskinan sebesar 0,19 persen dan Nusa Tenggara Timur 0,22 persen pada tahun 2020-2021. Padahal, Provinsi seperti Sumsel, saat ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa besar. Misalnya  batubara, kayu, minyak goreng, migas dll, di ekspor dengan jumlah besar-besaran. Angka kemiskinan dengan penurunan yang kecil merupakan angka kutukan jika kita ingin melihat harapan ke depan.

Dari pendekatan kemiskinan struktural, harapan semakin pupus karena transformasi penguasaan aset, baik properti/land maupun keuangan/pembiayaan semakin memihak orang-orang kaya. Tahun 2019, beritasatu.com pada 28/8/2019, memberitakan struktur kepemilikan uang di rekening bank sebagai berikut; dari Rp. 5.900 triliun pada Juli 2019, total dari kepemilikan rekening 291 juta, mayoritas rekening (98 persen) dimiliki nasabah dengan simpanan di bawah Rp 100 juta. Dari jumlah total uang bank, itu sebesar 1 persen saja. Sebaliknya, pemilik uang Rp 2-5 miliar berjumlah 0,5 persen dengan porsi kepemilikan 1 persen. Selanjutnya, pemilik di atas Rp 5 miliar hanya sebanyak 98.947 rekening dengan porsi kepemilikan 47 persen atau sebesar Rp 2.768,62 triliun.

Bagaimana kondisi terbaru ketika pandemi? Ketika rakyat miskin terseok-seok mengantri bantuan sosial? Riset IDEAS, sebuah lembaga di bawah yayasan Dompet Dhuafa, dalam Kompas pada 19/12/21, menngkonfirmasi, “Sejak pandemi, terlihat pola yang konsisten, rasio tabungan kelas atas meningkat tajam dan rasio tabungan kelas bawah semakin terpuruk. Pangsa simpanan masyarakat di perbankan dengan tier nominal lebih dari Rp 5 miliar meningkat dari 46,2 persen pada Desember 2019 menjadi 50,7 persen pada September 2021.”

Catatan tentang reformasi aset atau “Landreform” dalam Nawacita Jokowi tidak mempunyai jejak yang nyata. Jokowi hanya berhasil memperkuat program hutan sosial yang sudah ada sejak dulu. Sedangkan Landreform, seperti yang dibayangkan Soekarno ketika menjalankan sosialisme ekonomi, tidak terjadi. Berbagai catatan menyebutkan tanah-tanah produktif di Indonesia dengan skala puluhan juta hektare hanya dikuasai segelitir orang saja.

Baca juga :   APBN Jebol, Hanya Isapan Jempol

Struktur kepemilikan aset, baik tanah maupun uang, seperti digambarkan di atas, jika dikaitkan dengan Material Power Indeks (MPI), sebagaimana yang dikonsepkan Jeffry Winters dalam Oligarcy in The United States, sebagai ukuran kekayaan oligarki dibanding rerata rakyat, di mana Indonesia sebesar 548.000, jauh lebih besar dari Malaysia 152.000 dan Singapore 46.000, atau konsep Thomas Piketty tentang return to capital/growth yang selalu membesar, maka dapat dipastikan kemiskinan dan ketidakadilan di Indonesia akan terus menganga. Dan negara tidak lagi mempunyai arti yang penting sebagai faktor keadilan sosial.

Kita sudah memperlihatkan demokrasi dan isu kesejahteraan di atas. Keduanya memburuk begitu dahsyat di era Jokowi. Mungkin Jokowi dapat berkelit bahwa sebagiannya karena faktor eksternal, seperti Pandemi Covid-19 maupun perang Ukraina dan Rusia saat ini. Namun, dalam dimensi struktural, baik era pandemi maupun di luar pandemi, situasi kemiskinan dan ketimpangan kepemilikan aset tetap menjadi persoalan besar. Bahkan, jika dikaitkan dengan kasus minyak goreng beberapa waktu lalu, tampak Jokowi gagal memerankan fungsi negara sebagai instrument keadilan. Selain urusan minyak goreng, kesejahteraan buruh juga semakin buruk saat ini, khususnya ketika UU Omnibus Law diberlakukan dan upah buruh hanya mengalami kenaikan 0,85 persen saja (2022).

Lalu apakah buruknya demokrasi mempunyai korelasi terhadap pengurangan kemiskinan dan sekaligus memperbaiki keadilan sosial? Hubungan ini perlu diselidiki lebih jauh. Namun, pada era sebelum Jokowi, ketika demokrasi berjalan, 2000-2014, tingkat pengentasan kemiskinan berjalan jauh lebih baik. Oleh karenanya, kita harus meyakini bahwa peningkatan indeks demokrasi secara tajam perlu dilakukan. Begitu pula desain negara ke depan, khususnya dalam kepemimpinan baru, harus menghasilkan langkah struktural yang kuat di bidang kemakmuran rakyat. (*)

 

Dr. Syahganda Nainggolan;
Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle. Makalah ini disampaikan pada Seminar Kebangsaan Syarikat Islam, “Demokrasi dan Keadilan Sosial, di Jakarta pada (3/7/22)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *