Bupati Beri Solusi secara Virtual, Pekerja Seni Menolak

  • Bagikan
BERHARAP BISA PENTAS: Para waranggana di Tuban saat melakukan aksi damai di depan kantor Pemkab Tuban, Kamis (19/8).

INDOSatu.co – TUBAN – Bupati Tuban Aditya Halindra Faridzky akhirnya buka suara terkait tuntutan pekerja seni di masa pandemi, yang disuarakan melalui aksi damai, di depan Kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban, Kamis (19/8).

Agar pekerja seni tetap bisa manggung di masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Mas Lindra sapaan Bupati Tuban, mewacanakan untuk pertunjukan seni (tayub, wayang, ketoprak dan lainnya), secara virtual. ” Bisa jika nantinya dilakukan pertunjukan secara virtual,” ungkap Mas Lindra.

Baca juga :   Belum Genap Sebulan, DBD di Bojonegoro 112 Kasus, Dua Meninggal

Hanya saja, saat ini pihaknya masih menggodok konsep pertunjukan seni secara virtual tersebut, agar bisa diimplementasikan di lapangan. Sebab, pihaknya saat ini masih dicari format penerapan pertunjukan secara virtual. Apakah lokasi pertunjukan dijadikan satu dengan tempat hajatan atau bagaimana, itu yang masih dibahas. “Mudah-mudahan pertunjukan seni secara virtual bisa dilakukan. Ini solusi agar pekerja seni tetap bisa manggung di masa pandemi yang masih berlangsung ini,” harapnya.

Baca juga :   Meski PPKM, Andhi: Wajib Utamakan Keselamatan Masyarakat

Terkait pertunjukan seni secara langsung, pihaknya tetap tidak membolehkan karena sudah aturan dari pusat, sedangkan pihaknya hanya melaksanakan aturan tersebut.

“Untuk pertunjukan manggung di lokasi, memang belum boleh karena pusat masih memberlakukan PPKM,” tegasnya.

Dilain pihak, Danuri, salah seorang perwakilan pekerja seni di Kabupaten Tuban, menolak mentah-mentah rencana pertunjukan seni secara virtual yang diwacanakan oleh bupati Tuban. Sebab, pertunjukan seni berbeda dengan rapat. “Kalau rapat bisa dilakukan secara virtual, karena hanya sebatas ngomong bergantian,” katanya.

Baca juga :   Yusril: Jika Salah, Jokowi Bisa Dianggap Genosida

Sedangkan pertunjukan seni, menurut dia, sangat berbeda, karena harus ada interaksi antara penonton dan pertunjukan. Misalnya tayub, penontong pasti menari di sekitar waranggono. “Tidak bisa penonton atau tamu undangan menari tayub, di depan televisi atau layar. Nilai seninya tidak ada dan menghilangkan estetika kesenian,” tambahnya. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *