INDOSatu.co – JAKARTA – Pernyataan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie yang menilai masuk akal adanya tuntutan pembatalan putusan Nomor 90 Tahun 2023 terkait syarat umur capres dan cawapres, direspon banyak kalangan. Salah satunya Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Anthony merespon serius pernyataan Jimly tersebut. Apalagi, Jimly juga memberi pernyataan bahwa akibat putusan Nomor 90 Tahun 2023 itu, Kehormatan Mahkamah Konstitusi sudah rusak, mencapai titik nadir dalam sejarah Indonesia.
‘’Seorang Pak Jimly sampai menggunakan perumpamaan “iblis”, menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi dikuasai dua iblis, iblis kekuasaan akal bulus dan iblis kekayaan akal fulus, berarti MK sudah keterlaluan,’’ kata Anthony Budiawan kepada INDOSatu.co, Jumat (3/11).
Dari pernyataan yang dilontarkan Jimly itu, kata Anthony, terindikasi jelas bahwa Mahkamah Konstitusi sedang tidak baik-baik saja: sedang dirusak oleh kekuatan tirani. Terindikasi jelas juga, ungkap Anthony, ada pelanggaran kode etik dalam menangani perkara persyaratan batas usia minimum capres-cawapres.
Pelanggaran kode etik ini mempengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan persyaratan batas usia minimum capres-cawapres, dengan menambah norma baru persyaratan alternatif “…. atau berpengalaman sebagai kepala daerah”.
‘’Putusan Mahkamah Konstitusi ini jelas mengandung unsur rekayasa, manipulatif, dan melanggar hukum,’’ kata Anthony.
Putusan Mahkamah Konstitusi melanggar pasal 17 undang-undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan juga melanggar pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar.
Ketua MK Anwar Usman, beber Anthony, secara sadar dan sengaja melanggar pasal benturan kepentingan yang diatur di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, dan melanggar pasal integritas dan tindakan tercela hakim konstitusi yang diatur di dalam pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar.
Karena itu, kata Anthony, bukan lagi “masuk akal”. Tetapi putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud wajib batal. Karena diambil berdasarkan mufakat jahat, yang dilakukan secara sadar dan sengaja, untuk mengkhianati Konstitusi demi kepentingan pribadi keluarga. (adi/red)