INDOSatu.co – JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan, satu-satunya solusi memulihkan kedaulatan rakyat kepada bangsa ini hanya dengan kembali ke UUD 1945 sesuai naskah asli, untuk kemudian dilakukan penyempurnaan dengan pola adendum.
Karena UUD hasil amandemen 1999-2002 sudah terbukti meninggalkan Pancasila dan membuat Indonesia semakin liberalis dan kapitalistis. Dan selama 20 tahun sejak 2002, kondisi bukan membaik. Tapi semakin menguatkan oligarki ekonomi dan politik.
Hal itu disampaikan LaNyalla saat menerima audiensi sejumlah elemen masyarakat, mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) di kantor DPD RI, Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Jumat (22/7).
Hadir dalam pertemuan tersebut, koordinator ARM Menuk Wulandari, perwakilan Konsentrasi Mahasiswa Peduli Bangsa (Konsemapsa) Razaq Ode, perwakilan buruh dari Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Daeng, dan beberapa aktivis lainnya.
Sedangkan Ketua DPD RI didampingi Senator asal Lampung Bustami Zainudin dan Senator asal Kalimantan Selatan Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim, Staf Khusus Ketua DPD RI Togar M. Nero dan Brigjen Pol Amostian, Kabiro Setpim DPD RI Sanherif S. Hutagaol, dan Kapusperjakum DPD RI Andi Erham.
“Pasti ada pihak-pihak yang tidak mau kembali ke UUD 1945, dengan simplifikasi seolah kembali ke Orde Lama dan Orde Baru. Padahal konsep nilai UUD 1945 itu paling sesuai. Makanya hanya perlu disempurnakan dengan cara adendum agar tidak mengulang kesalahan masa lalu.
“Saya katakan, mereka yang menolak sistem asli Indonesia ini hanya ada dua, yaitu yang sekarang menikmati kekayaan Indonesia, dan mereka yang belum memahami secara utuh sistem nilai yang digali para pendiri bangsa ini,” tukas LaNyalla.
Setelah MK menolak gugatan DPD RI soal Presidential Threshold (PT), LaNyalla mengaku akan memimpin perjuangan untuk mengembalikan kedaulatan negara ini kepada rakyat sebagai pemilik sah.
“Kita harus kembali ke UUD 45 asli, untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara adendum, bukan mengganti total konstitusi seperti UUD 2002 yang isinya 95 persen berbeda dengan UUD 1945,” tegasnya lagi.
Cara yang dilakukan adalah dengan menggerakkan semangat dan menyadarkan pikiran berbagai elemen masyarakat serta para tokoh bangsa mengapa harus kembali ke UUD 1945.
Karena itu, LaNyalla akan terus menemui satu per satu tokoh, baik di lingkungan Lembaga Negara, Ketua Partai, Tokoh Masyarakat dan Pimpinan Ormas. Dia juga membuka diri untuk bertemu semua elemen masyarakat.
“Kenapa harus kembali ke UUD 1945 karena sejak Amandemen 1999 sampai 2002 itu negara ini semakin jauh dari merdeka, rakyat semakin miskin, sumber daya alam semakin dikuras oleh oligarki yang rakus. UUD 1945 adalah solusinya,” ucap LaNyalla.
Menurut LaNyalla dalam pemilihan Presiden pun, dia ingin sesuai UUD 1945, yaitu mengembalikan pemilihannya kepada MPR RI sebagai lembaga tertinggi di Republik ini.
“MPR RI harus menjadi wadah yang utuh, yang menampung semua elemen bangsa yang super majemuk ini. Ada partai politik, ada utusan daerah, ada utusan golongan, ada TNI-Polri. Bukan hanya ditentukan oleh partai politik saja,” papar dia.
Meskipun kembali, namun LaNyalla mengatakan bahwa UUD 1945 naskah asli harus tetap diperbaiki. Namun dengan cara yang benar. Tanpa mengubah konsep bernegara Pancasila.
Koordinator ARM, Menuk Wulandari mengaku sepakat dan mendukung penuh langkah Ketua DPD RI. Dia yakin kembali ke UUD 1945 adalah solusi utama bagi permasalahan bangsa yang terjadi.
“DPD RI satu-satunya lembaga yang bisa menerima jeritan rakyat. Kami mendukung langkah Ketua DPD RI dan jajarannya. Kami berharap DPD RI sebagai lokomotif gerakan perubahan untuk wujudkan cita-cita nasional,” ucap Menuk.
“Intinya kedatangan kami ke sini, mewakili suara banyak orang, terutama enak-emak. Mohon Ketua DPD RI untuk memimpin kami mencari solusi ke depan agar rakyat tetap berdaulat,” imbuhnya.
Daeng dari PPMI menyampaikan keresahannya akan RKUHP yang akan disahkan oleh DPR RI. Dimana pasal-pasalnya memunculkan sanksi-sanksi bagi pengkritik rezim.
“Kritik akhirnya diasumsikan sebagai penghinaan dan berujung pada penjara. Saat ini rakyat tidak boleh kritis kepada pemerintah, sementara pemerintah dan DPR seenaknya bikin UU tanpa mendengar suara rakyat,” tegasnya.
Razaq perwakilan Mahasiswa Konsemapsa juga menyatakan hal serupa tentang draft RKUHP yang kontroversial. Dia mencontohkan ada pasal yang berbunyi demonstrasi yang menyebabkan kemacetan akan dipenjarakan. “Hal ini tidak logis dan kesesatan berpikir dari pemerintah sendiri,” tukas dia.
Sejauh ini lanjutnya pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif sudah tidak aspiratif lagi bagi rakyat. Hal itu harus didobrak supaya bangsa Indonesia tidak semakin rusak dalam sistem politik, hukum dan ekonomi. (adi/red)