Berlakukan Sistem Proporsional Tertutup, Abdul Kholik: MK Buat Langkah Mundur

  • Bagikan
LEBIH MUDAH BEKERJA SAMA: Anggota DPD asal Jawa Tengah, DR. Abdul Kholik menyikapi keputusan Sidang Paripurna Luar Biasa ke-5 DPD RI Masa Sidang V Tahun Sidang 2023-2024 terkait pemilihan Pimpinan DPD 2024-2029 menggunakan sistem paket.

INDOSatu.co – JAKARTA – Keinginan coblos tanda gambar partai pada Pemilu 2024 mendatang bisa saja dilakukan jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang saat ini sedang berlangsung. Meski demikian, sistem coblos gambar partai itu akan menjadi preseden dan kemunduran bagi sistem pemilu. Sebab, hal itu menunjukkan MK inkonsistensi terhadap keputusan yang pernah dibuat.

Statemen tersebut diungkapkan Abdul Kholik, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Jawa Tengah saat dimintai komentar terkait wacana sistem Pemilu 2024 mendatang. Jika gugatan itu dikabulkan MK, maka lembaga tersebut dinilai terlalu dalam masuk ke ranah politik legislasi yang seharusnya menjadi domain DPR.

Baca juga :   Senator Jawa Tengah Respon Positif Pemilihan Pimpinan DPD Gunakan Sistem Paket

”Jika dirunut kembali, justru MK lah yang mengawali pemberlakukan sistem suara terbanyak, yakni dengan cara coblos caleg, bukan hanya coblos tanda gambar partai,” kata Abdul Kholik saat dihubungi INDOsatu.co via ponselnya, Jumat (6/1).

Putusan MK tahun 2009 yang memberlakukan suara terbanyak, kata Kholik, sebenarnya telah memotong politik legislasi DPR yang hendak memberlakukan suara terbanyak secara gradual. Pada Pemilu 2004 misalnya, kata alumni Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto tersebut, saat itu nomor urut berlaku, tetapi kalau ada caleg yang memperoleh suara 100 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP), maka caleg tersebut langsung terpilih.

Baca juga :   Demo Damai GPKR di Depan Gedung DPR RI, Din Syamsuddin Desak Dewan Gunakan Hak Angket

Selanjutnya, pada Pemilu 2009, diberlakukan kuota 30 persen BPP, maka apabila ada caleg memperoleh suara 30 persen dari BPP, maka caleg itu yang terpilih.

”Nah, oleh MK, hal itu kemudian diubah menjadi suara terbanyak murni. Padahal ketika itu, DPR akan memberlakukan suara terbanyak murni baru pada Pemilu 2014. Akibat putusan MK pada tahun 2009 itu, maka konsep gradual politik legislasi DPR teramputasi. Karena itu, jika MK akan memberlakukan kembali coblos gambar dan nomor urut caleg menjadi penentu, maka lembaga ini melakukan kemunduran,” ujarnya.

Baca juga :   Sesalkan Statemen Prabowo soal Tuntutan Buruh, Jumhur: Capres Harusnya Hadirkan Keadilan

Di sisi yang lain, lanjut Kholik, keinginan coblos tanda gambar yang ingin dilakukan pemerintah seperti diungkapkan oleh Menkopolhukam Mahfud MD, juga tidak tepat. Sistem proporsional tertutup itu karena dikhawatirkan mempengaruhi independensi MK di dalam mengambil putusan.

”Jadi, semua pihak harus menunggu putusan MK. Jangan mengumbar hal-hal yang belum jelas soal sistem dalam Pemilu 2024 mendatang itu. Sebaiknya, kalau pun coblos gambar partai diberlakukan, itu juga merupakan kewenangan DPR dalam membuat undang-undang pemilu,” pungkas Doktor Ilmu Hukum itu. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *