Berharap Kepastian Hukuman; Surat Terbuka untuk Ketua Umum PBNU

  • Bagikan

SALAM silaturrahim dan salam kenal Bapak Ketua Umum PBNU. Teriring doa semoga PBNU dan seluruh jajaran serta warga Nahdliyin senantiasa dirahmati Allah SWT, aamiin…

Mohon maaf, Bapak.

Melalui tulisan ini, saya, sekretaris BPP Unugiri Bojonegoro yang sedang dinon-aktfkan oleh LPTNU, bermaksud menyampaikan permasalahan saya kepada PBNU. Yaitu, terkait status saya di BPP Unugiri yang sudah enam bulan terakhir ini digantung oleh LPTNU. Status saya dibiarkan mengambang dengan alasan yang tidak jelas, aneh, dan tidak saya mengerti. Ini tentu sangat tidak mengenakkan secara psikologis.

Saya di-SK sebagai sekretaris Badan Pelaksana Penyelenggara (BPP) Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (Unugiri) Bojonegoro berdasarkan SK PBNU Nomor: 665.a/A.II.04.d/04/2023 tanggal 17 April  2023. SK ditandatangani Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, dan Sekjen PBNU. Masa jabatan berakhir pada 10 Oktober 2025.

Lembaga Pendidikan Tinggi NU (LPTNU) di bawah naungan PB NU, menyatakan menon-aktifkan saya dari jabatan sekretaris BPP Unugiri. Penon-aktifan itu melalui Nota Dinas Nomor 133/B.LPT-PBNU/VIII/2024 tertanggal 12 Agustus 2024. Surat ditandatangani Ketua LPTNU Prof. Ainun Na’im, Ph.D dan Sekretaris Dr. Rer. Pol. H. M. Faishal Aminuddin.

Nota Dinas ditujukan kepada Ketua BPP Unugiri Bojonegoro lalu disampaikan kepada saya. Dalam surat itu disebutkan, pemberian sanksi itu karena LPT PBNU perlu mendalami aduan dari masyarakat terkait dengan statemen publik dan tulisan di media massa yang saya sampaikan.

Baca juga :   Letnan Kolonel TNI Deddy Corbuzier, Hua Ha Ha...

Bapak Ketua Umum PBNU yang saya hormati.

Pemberian sanksi terhadap diri saya dengan alasan seperti itu, menurut saya, sangat aneh. Banyak kejanggalan. Pertama, di dalam surat LPTNU itu hanya dinyatakan ada aduan dari masyarakat terkait dengan statemen publik dan tulisan di media massa yang saya sampaikan.

LPTNU sama sekali tidak menjelaskan masyarakat yang mana, statemen publik saya yang mana dan kapan. Juga, tidak menyebutkan tulisan saya di media massa tersebut isinya tentang apa, nama medianya apa, dan di-publish tanggal berapa. Tetapi anehnya, LPTNU langsung percaya terhadap aduan/laporan tersebut dan langsung menjatuhkan sanksi terhadap saya.

Seharusnya, LPTNU melakukan tabayun (mengklarifikasi/minta penjelasan) dulu tentang tuduhan/isi laporan tersebut sebelum mengambil sikap. Aneh, LPTNU tidak menjelaskan isi aduan masyarakat itu kepada saya, dan tanpa tabayun sama sekali, tetapi langsung menjatuhkan sanksi. Bukankah, dalam tradisi NU, sesuai dengan ajaran Islam, jika ada suatu berita/laporan, maka harus diklarifikasi (tabayun) dulu sebelum disikapi. (Alquran Surat Al Hujurat Ayat 6)

Baca juga :   Untung Ada Firli Bahuri Yang Mau Jegal Anies Baswedan

Kedua, jika statemen publik dan tulisan saya di media dianggap salah, harusnya lebih bijak jika PBNU ataupun lewat LPTNU meng-counter statemen dan tulisan saya itu. Jika ada bagian tertentu dari tulisan saya itu dianggap salah ya silahkan diluruskan.

Bahkan, kalaupun tulisan saya dianggap salah seluruhnya, 100 persen salah, ya tidak masalah. Anggap saja itu sebagai perbedaan pendapat. Dan itu sah-sah saja dalam negara demokrasi. Islam pun tidak melarang adanya perbedaan pendapat. Bahkan, Kanjeng Nabi SAW dawuh, perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat (ikhtilafu ummati rahmatun).

Ketiga, kalau pun LPTNU tidak mau menempuh jalan pertama dan kedua itu, mestinya LPTNU juga tidak boleh terburu-buru menjatuhkan sanksi dulu. Lazimnya, dalam banyak organisasi, jika ada anggota dianggap bersalah, ya anggota itu diingatkan. Ditegur. Bila perlu diberi surat peringatan (SP). SP 1. Kalau perlu ada SP 2. Jika anggota tersebut mbandel, kembali melakukan kesalahan lagi, barulah dijatuhi hukuman. Misal, dipecat/diberhentikan dengan hormat, atau tidak  dengan hormat.

Bapak Ketua Umum PBNU yang saya hormati.

Baca juga :   Mendag Zulkifli Hasan Sangat Kejam Hambat Kiriman PMI

LPTNU sama sekali tidak menempuh tahapan-tahapan tersebut (tahapan pertama hingga ketiga). LPTNU tiba-tiba memberikan sanksi, menon-aktifkan saya dari jabatan sekretaris BPP Unugiri. Ironisnya, penon-aktifan ditegaskan hanya berlaku tiga bulan. Tetapi, nyatanya, kini sudah hampir enam bulan, surat kepastian dari LPTNU itu tidak kunjung ada.

Beberapa waktu lalu saya tanyakan kepada Sekretaris LPTNU. Katanya, masih menunggu tanda tangan PBNU. Sampai kapan? Karena itu, Bapak Ketua Umum PBNU, saya lewat tulisan ini sekaligus bermaksud menanyakan surat dari LPTNU yang terkait dengan status saya di BPP Unugiri Bojonegoro tersebut.

Bapak Ketua Umum PBNU  yang saya hormati.

Saya sebagai kawulo alit ndek ndeso, sangat berharap kepada LPTNU ataupun PBNU untuk tidak bersikap menomor-sekiankan urusan wong cilik.  Karena saya hanya wong cilik ndek deso, maka perlakuan terhadap saya tidak perlu pakai standar. Mudah-mudahan, PBNU yang hari-hari ini sibuk urusan sangat besar, misal urusan izin usaha pertambangan (IUP) batu bara, tetap ada waktu untuk memperhatikan masalah anggotanya. Terima kasih. Wallahul Muwaffiq ilaa Aqwamitthoriq. (*)

Dr. H. Mundzar Fahman, MM;
Penulis adalah Sekretaris Non-aktif BPP Unugiri Bojonegoro.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *