INDOSatu.co – TUBAN – Di tengah gempuran produk tekstil impor yang menggurita belakangan ini, Batik Gedok Tuban ternyata masih bertahan hingga kini. Para pengrajin tetap memproduksi batik gedok tetap mempertahankan eksistensi, karena didalamnya terdapat filosofi dalam proses pembuatannya.
Uswatun Khasanah, pengerajin Batik Gedok punya cara tersediri untuk menjaga agar Batik Gedok bisa dipertahankan secara turun-temurun. Ditemui wartawan INDOSatu.co di sanggarnya di Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, dia menjelaskan, bahwa di Tuban saja seni Batik Gedok dibuat, bahkan saat ini hanya diproduksi di Kecamatan Kerek.
Menurut Uswatun, meski bermacam jenis kain bisa digunakan sebagai media batik, namun untuk menghasilkan batik gedok yang berkualitas, membutuhkan kain khusus. Batik Godok dibuat dari kapas yang dipintal, lalu ditenun hingga membentuk kain, selanjutnya dilakukan proses pembatikan, dan pewarnaan dengan menggunakan warna-warna dari bermacam tumbuhan.
Dalam proses pemintalan, kata Uswatun, terdapat pakem yang harus terpenuhi. Setiap ukel (gulungan benang) terdapat 40 sekawan, sekawan merupakan kumpulan dari 4 simpul dan tiap simpul terdapat 5 helai benang. Ukel tersebut kemudian ditenun dengan menggunakan alat tenun tradisional yang hanya ada di Kerek. Dalam proses penenunan, alat tenun berbunyi ‘dok-dok-dok’. Bunyi itulah yang mengilhami kain ini disebut kain Gedok.
Setelah ditenun, kain dilakukan proses pembatikan, juga pewarnaan. Pewarna yang digunakan terbuat dari bahan alam dari biji dan akar tanaman indigofera yang telah difermentasi selama 24 jam. Setelah difermentasi, dilakukan pengadukan selama setengah hingga 1 jam lalu dibiarkan mengendap. Hasil endapan tersebut dicampur gula jawa yang kemudian digunakan untuk mewarnai kain Gedok.
Terdapat 100 motif Batik Gedok yang diantaranya terdapat 40 motif yang telah terdaftar dalam Indeks Geografi (IG). Motif-motif tersebut yang digunakan sebagai seserahan yang harus diserahkan oleh seorang laki-laki di Kerek dalam proses melamar perempuan. Masing-masing motif memiliki bermacam filosofi dari proses kelahiran, anak kecil, laki-laki, perempuan, pekerjaan, ketika sakit, orang tua, hingga ketika orang meninggal.
“Masing-masing motif ini ada nilai filosofisnya, dari setiap proses pembuatannya dibarengi dengan doa-doa, dari proses pemintalan hingga pewarnaan,” ungkap Uswatun.
Uswatun menyayangkan karena saat ini minat dari generasi penerus yang melanjutkan seni ini semakin minim. Rumitnya proses pembuatan menjadi faktor yang kurang diminati oleh generasi penerus. Saat ini hanya 4 desa di Kecamatan Kerek yang masih aktif membuat Batik Gedok, dan yang paling besar ada di Desa Kedungrejo.
“Saya aktif melakukan pelatihan-pelatihan di sekolah-sekolah, sanggar ini terbuka untuk siapapun yang mau belajar membatik,” ujar wanita peroleh penghargaan Upakarti Sari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut. (*)