Bagi-Bagi Amplop Berlogo PDIP di Masjid, Satria: Lahirkan Generasi Politik yang Korup

  • Bagikan
TIDAK ELOK: Penampakan tumpukan amplop berisi bergambar pengurus PDIP yang dibagikan seseorang di sebuah viral dan menggegerkan politik di Tanah Air.

INDOSatu.co – SURABAYA – Viralnya video bagi-bagi amplop berlogo partai di masjid menimbulkan polemik di masyarakat. Melalui akun Twitter @PartaiSocmed membagikan video bergambar seseorang yang sedang memberi amplop merah PDIP lengkap dengan logo kepala banteng kepada jamaah di sebuah masjid atau tempat ibadah.

Dalam amplop yang tergambar di dalam video tersebut, terdapat foto Plt Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Jawa Timur, Said Abdullah dan Ketua DPC PDIP Sumenep Ahmad Fauzi. Balasan warganet dalam tautan cuitan tersebut juga memperlihatkan isi amplop yang berisi Rp 300 ribu, terdiri dari dua lembar uang Rp 100 ribu dan dua lembar uang Rp 50 ribu.

Plt Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Jawa Timur (Jatim) Said Abdullah mengakui bahwa amplop tersebut dari dirinya. Amplop berisi duit itu diklaim Said sebagai zakat mal yang biasa dia keluarkan setiap tahun menjelang hari raya. Bahkan, kedepan Said juga berjanji bisa jadi akan memberi lebih besar lagi.

Baca juga :   KSPSI Dukung Mogok Kerja, Sejak Diakuisisi Grup Salim, Karyawan Kebun Sawit Lonsum Jadi Susah

Menyikapi fenomena tersebut, Pakar Hukum UM Surabaya, Satria Unggul Wicaksana memberikan tanggapan. Satria menilai, pemberian amplop berisi duit di masjid sebagai bentuk politik uang yang merupakan cikal bakal dari proses regenerasi politik yang korup. Menurut dia, transaksional politik uang akan memenangkan kelompok oligarki yang banyak mendapat keuntungan dari proses suksesi politik yang dilakukan.

“Melalui akses modal politik “gelap”, maka menghasilkan proses politik yang predatoris, yang kemudian berdampak dilanggarnya hak-hak dasar warga negara, memperkuat praktik korupsi, baik yang dilakukan secara terang-terangan seperti korupsi pengadaan barang dan jasa, hingga korupsi legislasi,”ujar Satria yang juga Direktur Pusad Studi Anti Korupsi UM Surabaya ini.

Baca juga :   Presiden PKS Serahkan SK untuk Mahyeldi-Vasco Maju Pilkada Sumatera Barat

Yang kedua, Satria menyebut, permisifnya masyarakat terhadap politik uang akan menjadikan peluang bagi transaksi antara peserta dan elektoral.

“Tentu kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya apa yang dialami masyarakat, selain karena tingkat pemahaman, juga karena missed persepsi yang disampaikan, bahwa politik uang bagian dari sedekah politik, bantuan sukarela, dan berbagai sebutan lainnya,”imbuh Satria.

Ketiga, beber Satria, praktik politik uang jelas bertentangan dengan prinsip dasar penyelenggaraan Pemilu yang luber dan jurdil. Apalagi, elektoral sudah dapat dikategorikan pemilih rasional, maka dari itu penggunaan politik uang harus dihindari sedemikan rupa. Masyarakat dapat melakukan mitigasi terjadinya politik uang dengan berbagai instrumentasi sosial kemasyarakatan, sehingga kesadaran dan budaya anti politik uang akan tumbuh bersemai.

Baca juga :   Ketua MPR RI Bamsoet Ajak Kaji Kembali Hasil Amandemen ke-4 UUD NRI 1945

Keempat, kata Satria, budaya politik transaksional akan menjadikan jalannya demokrasi elektoral menjadi tidak sehat dan menghasilkan pemimpin yang berpotensi besar korup, menindas hak-hak dasar warga negara, dan menegasikan pembangunan yang berkelanjutan.

Terakhir Satria juga menyebut, menggunakan sarana masjid sebagai transaksi politik uang tentu sangat tidak elok, apalagi dalam suasana bulan suci Ramadan.

“Keadaban dan moralitas politik harus dijunjung tinggi sebagai dasar agar demokrasi Indonesia semakin baik, dengan menghindari berbagai praktik politik uang dan pelanggaran lainnya,”tandas Satria. (sin/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *