INDOSatu.co – JAKARTA – Wakil Ketua MPR-RI yang juga Anggota Komisi VIII DPR-RI, Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritisi BKKBN yang dinilai mempersulit prosesi pernikahan. Karena itu, HNW meminta kepada Kementerian Agama, termasuk KUA agar taat asas untuk memudahkan prosedur bagi calon pengantin (Cantin) yang ingin melangsungkan pernikahan secara sah dan halal
HNW menilai, syarat permintaan BKKBN agar KUA tidak menikahkan kecuali calon pasangan pengantin sudah memiliki sertifikat Elektronik Siap Menikah dan Siap Hamil (Elsimil) sangat berpotensi semakin menyulitkan prosesi pernikahan dan membuat nikah menjadi mahal.
“Nikah pada dasarnya adalah ajaran Agama Islam. Dan Syariah Islam sangat menganjurkan membantu mempermudah pernikahan. Jangan sampai dengan dalih aspek birokrasi dan administrasi negara, nikah menjadi makin sulit karena diharuskan adanya sejumlah dokumen sebagai tambahan persyaratan nikah. Misalnya dengan sertifikat Elsimil yang diusulkan BKKBN itu,” kata HNW dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (4/3).
Apalagi, tambah Anggota DPR-RI Fraksi PKS ini, peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, tidak mensyaratkan sertifikat Elsimil untuk mendaftarkan kehendak nikah. Apalagi mengimbau larangan bagi KUA untuk menikahkan bila calon pengantin tidak membawa Elsimil tersebut.
Namun anehnya, ungkap HNW, belakangan sertifikat Elsimil yang diusulkan BKKBN itu hanya menjadi syarat nikah tambahan. Sertifikat itu bisa didapatkan calon pengantin setelah memeriksakan kesehatan diri dan pasangannya.
“Selain tak ada ketentuan tersebut di PMA 20/2019, prosedur pemeriksaan kesehatan, karena bisa menimbulkan kesulitan dan menambah biaya yang memberatkan bagi calon pengantin. Padahal, pada saat yang sama, muncul trend nikah di kantor KUA yang diapresiasi Kemenag, karena bisa meringankan biaya,” sambungnya.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini berpandangan, tes kesehatan bagi calon pasangan pengantin adalah hal yang baik. Namun, ketika itu diwajibkan, maka Pemerintah juga harus mengkaji aspek kebijakan yang berkaitan, seperti kesiapan Puskesmas, kesiapan BPJS, serta kemampuan ekonomi masyarakat.
HNW menilai, tidak semua Puskesmas bisa menyediakan tes kesehatan pra-nikah, serta masih simpang-siur, apakah tes tersebut dikover oleh BPJS atau tidak. Sementara, jika calon pengantin harus tes di RS Swasta, biayanya berkisar Rp 1-3 juta untuk setiap orang, bahkan bisa lebih. Kondisi-kondisi di atas tentu menyulitkan warga yang ingin menikah.
“Jangan sampai Pemerintah membuat kebijakan yang kontradiktif seperti mewajibkan sertifikat Elsimil, sementara dari Kemenag tidak ada kewajiban seperti itu. Apalagi di lapangan, Pemerintah juga tidak mempersiapkan sarana untuk bisa terlaksananya persyaratan karena belum tersedianya akses secara merata. Jika ini yang terjadi, maka masyarakat akan semakin resah, dan dapat membuat para anak muda enggan untuk menikah secara sah, dan akan makin merebak kasus-kasus hamil di luar nikah,” lanjut HNW.
HNW perlu mengingatkan masalah tersebut karena pada saat yang sama, kasus seks bebas di kalangan remaja dan anak muda semakin meningkat setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan menyebutkan, di tahun 2021 sebanyak 59.709 anak terpaksa menikah karena mayoritas mereka sudah hamil di luar nikah. Dan yang mengerikan, angka tersebut naik 7 kali lipat dari tahun 2016.
“Karena itu, pernikahan yang murah sebagai solusi mendasar masalah pergaulan bebas, seharusnya dipermudah, bukan dipersulit dengan adanya syarat tambahan yang tidak solutif. Adapun tes kesehatan pra-nikah, lebih baik dijadikan sebagai imbauan yang masif dengan cara melalui sosialisasi, sehingga anak muda yang ingin menikah tetap mementingkan aspek kesehatan, tetapi tidak terbebani, baik dengan aturan birokrasi maupun biaya yang menyertainya,” pungkas HNW. (adi/red)