Api Itu Tak Pernah Padam (Sebuah Catatan Ideologis dan Jejak Seorang Aktivis Islam Nasionalis)

  • Bagikan

BELAKANGAN ini, nasionalisme sering dihadap-hadapkan dengan agama. Dinamika umat Islam cenderung dipoles sebagai ancaman keberagaman. Agama Islam terus dieksploitasi dengan framing kekerasan dan terorisme yang mengancam eksistensi Pancasila dan kelangsungan NKRI. Seiring itu, dengan masih mengidap sistem politik yang memisah relasi agama dengan negara. Fakta-fakta tersebut tak lebih sebagai bentuk kegagalan negara menghadirkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat sepanjang republik berdiri. Membuat Islam dan pemberlakuan hukum syariat sebagai alternatif solusi problem kebangsaan, sering dijadikan kambing hitam, justifikasi dan upaya penghianatan terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.

Sekelumit Perjalanan Penulis

Pada tahun 1991, keluargaku pindah dari daerah Semper Timur Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setelah hampir 12 tahun menempati salah satu bangunan di dalam kawasan perkantoran dan pergudangan yang tak lagi aktif, milik Mr. Tong Djoe seorang Taipan kenamaan era Soekarno dan Soeharto jauh sebelum era 9 Naga muncul. Melalui bantuan seorang atasan tempat ayah bekerja, yaitu Nelson Tobing, seorang purnawirawan perwira tinggi ABRI dan Guntur Soekarno Putra (putra sulung Bung Karno dari Fatmawati). Ayah mendapat uang kerohiman dari Mr. Tong Djoe usai tempat tersebut dijual dan tak bisa ditempati lagi. Dari uang itu, ayah membeli sebidang tanah dan membangun rumah di daerah perkampungan Kranji, Bekasi Barat, Kota Bekasi dan tinggal hingga saat ini.

Tepat pada tahun 1993, saat usiaku 20 tahun dan setelah 2 tahun tinggal di Kranji, saya dipercaya menjadi ketua Karang Taruna tingkat RW kurun waktu 1993-1996. Hanya saya dan beberapa orang yang berusia 20 tahun dan di atasnya. Selebihnya banyak pengurus dan anggota Karang Taruna yang masih usia SMA, bahkan ada yang SMP. Ketika aktif di Karang Taruna inilah saya benar-benar bercengkerama dan bergelut lebih dalam dengan dunia Islam. Aktivitas di Karang Taruna dan pengajian di beberapa majelis taklim, benar-benar membuka ruang akomodasi dan asupan pembelajaran nilai-nilai Islam.

Melalui aktivitas Karang Taruna di Kranji, saya dan pengurus gencar menyelenggarakan kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), selain kegiatan sosial lainnya dalam berbagi dan membantu kalangan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) masyarakat Kranji. Ada yang menarik saat intens menyelenggarakan kegiatan PHBI seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mikraj, 1 Muharram dan berbagai kegiatan keislaman lainnya.
Dengan usia muda yang minim bekal pengalaman, populasi warga perkampungan yang lebih banyak jenjang ekonomi menengah ke bawah dan tidak adanya akses atau jejaring ke birokrasi maupun tokoh atau pemimpin-pemimpin sosial dan politik, Alhamdulillah komunitas belia dan masih hijau ini tetap semangat dan berhasil menghidupkan syiar dan dakwah di lingkungan.

Kegiatan yang saya gelar waktu itu cukup menggemparkan dan mengusik banyak kalangan di luar antusiasme euforia umat Islam. Karang Taruna yang digerakkan kumpulan bocah ingusan, mampu menghadirkan para ulama, kyai dan habaib yang dianggap radikal dan fundamental saat itu. Penceramah garang dan anti Soeharto seperti; KH Abu Hanifah, KH Habib Idrus Jamalulail, Ahmad Sumargono, Habib Metal dan lain-lain sering hadir di kampung Kranji. Saya dibantu kawan yang memiliki mobil Suzuki Carry, berdua yang menjemput dan mengantarkan kembali para dai itu ke rumahnya saat acara. Kegiatan tablik akbar yang dihadiri ribuan jamaah tak mampu ditampung di musala dan jalan-jalan kecil pemukiman itu. Setiap kegiatannya memberi warna, api Islam itu seakan selalu hadir di setiap musim kekuasaan dan beragam perangai rezim.

Baca juga :   Kontroversi Langkah Politik Gibran

Khotbah yang berisi agitasi dan propaganda sebagaimana Soekarno-Hatta dan para “The Founding Fathers” yang mengobarkan api perlawanan kolonialisme dan imperialisme yang mengambil peran untuk melahirkan kemerdekaan Indonesia. Tidak hannya menarik massa dari Kranji dan Bekasi saja, warga Jabodetabek juga kerap menghadiri kegiatan-kegiatan tersebut. Tentu saja termasuk tekanan intimidasi dan teror psikologis dari aparat dan birokrasi setempat tak luput menghampiri. Wilayah Kranji khususnya, dan Bekasi pada umumnya yang dianggap basis Golkar dan PPP saat itu, sudah pasti menimbulkan reaksi pejabat politik dan pemerintahan, terhadap kegiatan keagamaan penuh spirit amar maruf nahi munkar, meski hanya dilakukan Karang Taruna selevel RW di masa Orde Baru (Orba). Apalagi konten ceramahnya berisi, kalau tidak anti Soeharto, ya menolak sistem negara sekuler liberal yang berbungkus Pancasila dan UUD 1945 saat rezim Soeharto yang begitu represif dan sedang kuat-kuatnya.

Saya, terutama yang dianggap “otak” dari semua kegaduhan kegiatan rohis itu, selalu diawasi dan menjadi langganan dipanggil aparat saat sebelum dan usai acara. Bahkan, ketika ribuan jamaah sudah hadir dan ulama menjelang naik mimbar tablik akbar itu. Tak kurang Babinsa, Bimaspol, Kodim dan Polres hingga lurah dan camat (mungkin juga menjadi perhatian bupati), sering menginterogasi saya. Lucunya, entah karena kepolosan dan atau semangat yang menggebu-gebu karena ikut andil dalam syiar Islam, bukannya takut, saya yang dianggap masih ABG malah jadi tambah bersemangat. Kami semua juga tidak percaya, namun sekaligus bangga. Hanya dengan beberapa anak pelajar, mengumpulkan uang dari donasi warga lingkungan yang seadanya, dapat membuat acara fenomenal dan heboh, yang logikanya harus menggunakan sumber daya dan pendanaan besar. Alhamdulillah, mungkin karena ada hidayah dan pertolongan Allah yang tak mungkin dalam pandangan manusia, kami bisa mewujudkan tentu atas Allah SWT.

Tanaman Aqidah dan Ghirah Islam

Menjadi pengalaman yang luar biasa dan tak akan pernah terhapus dari memori spiritual. Sebelum aktif menjadi ketua Karang Taruna RW 02 di Kelurahan Kranji, saya lebih dulu mengenyam pendidikan di Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) pimpinan Rachmawati Soekarno Putri. Bahkan, mulai dari SMP hingga SMA, sudah diberikan buku-buku Soekarno dan tokoh-tokoh pemikir dunia. Karena itu, saya seperti sudah menjadi produk YPS dan kader Rachmawati Soekarno Putri. Melalui YPS, saya banyak belajar tentang nasionalisme, pertumbuhan kebudayaan dan perbandingan ideologi-ideologi dunia.

Sebelum menjadi mahasiswa, saya berkesempatan belajar dari mentor Bachtiar Ginting yang Islam sosialis (Bagin-pernah Sekjend LKN era Orde Lama) Yano Bolang, Dicky Soeprapto, Simon Tiranda, John Leumingkeas, dan termasuk berinteraksi dengan Dahlan Ranuwihardja yang nasionalis religius dan pernah Ketum PB HMI. Hanya Bagin yang bisa memengaruhi cara berpikir dan bertindak saya sampai saat ini, tatkala menggumuli persfektif kebangsaan dari kalangan nasionalis dan religius itu.

Baca juga :   Fatique dan Microsleep Sangat Berbahaya saat Mengemudi

Seiring waktu ketika saya memasuki dunia kampus dan aktivitas pergerakannya, saya mulai punya banyak kawan dan komunitas aktivis. Sebagai mahasiswa yang keluarganya dikenal dekat dengan keluarga Bung Karno. Saya merasa itu salah satu keberuntungan tersendiri, karena dekat dengan salah satu magnit politik nasional. Terlebih dengan HM. Taufiq Kiemas yang membantu menyelesaikan sarjana saya, ketika bea siswa saya dicabut setelah melawan Prof. Sri Soemantri Martosuwignyo dan Tjokropranolo, selaku Rektor dan Ketua Yayasan Untag Jakarta. Taufiq Kiemas juga yang membantu sarjana adik-adik saya dan menawarkan saya sebagai komisaris BUMN dan mengambil program S2 pada tahun 2001, meski saya menolaknya dengan halus. Saat itu, saya sudah disebut-sebut sebagai anak asuh Taufiq Kiemas. Mungkin karena ayah saya sudah dianggap seperti kerabat keluarga Bung karno dan sedikit status aktivis yang ada.

Dinamika aktivitas saya cenderung akrab dan hangat dengan putra-putri presiden pertama RI itu. Apalagi ketika menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta periode 1996-1997, aktif di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) era 1996-1998 dan terpilih menjadi Presidium GMNI jeda 1999-2002. Masa-masa itu, saya terlanjur lebih dicap sebagai aktivis nasionalis dan Soekarnois. Citra itu lebih kental dan dominan ketimbang latar belakang lainnya.

Meski ayah saya asli Alor-NTT, dimana keluarganya begitu majemuk dan memiliki Fam Blegur yang sebagian muslim dan sebagian lainnya non muslim. Saya bersama kakak dan adik, terlalu kuat dibentuk oleh kulutur Betawi asli yang didapat dari Ibu saya. Betapapun makna kebhinekaan dan kemajemukan sudah tertanam dari keluarga ayah saya, termasuk dari kakek saya Kapitan Ibrahim Amu Blegur, pemimpin di Pulau Pantar. Bagian dari wilayah NTT yang mayoritasnya non muslim.

Saya terus tumbuh dan berkembang justru dibangun oleh pondasi keIslaman hingga menjadi seorang aktivis pergerakan. Kiprah itu bisa dilihat saat banyak mengikuti majelis taklim dan interaksi dengan para guru, baik dari kalangan kyai, ustad maupun para habaib. Selain itu juga pernah menjadi ketua dan pengurus remaja Islam musala dan masjid di lingkungan tempat tinggal. Saat di kampus, saya juga pernah menjadi pengurus Mahasiswa Masjid Ar-Roofi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Hampir 7 tahun aktif di Masjid yang didirikan oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila milik Soeharto. Di masjid Ar-Roofi ini, saya pernah menjadi marbot (yang digaji kampus dan merupakan konversi bea siswa) selama 2 tahun, sebelum terus larut bergerilya kota sebagai aktivis gerakan mahasiswa 98. Padatnya aktivitas kemahasiswaan itu membuat saya tak bisa menghindar dari tugas sebagai Ketua DPP HIMAH Al Wasliyah, sayap organisasi kemahasiswaan organisasi Islam Al Wasliyah. Pun demikian, pelbagai keintiman dan kedalaman menyelami pembelajaran Islam itu, tak melengserkan karakter nasionalis yang kadung melekat. Sampai saat ini saya masih kental dianggap kader GMNI yang nasionalis dan Soekarnois oleh banyak kalangan dan relasi.

Kini, setelah melewati jejak rekam itu, dan memasuki usia yang tak muda lagi, saya terasa berat dan sulit menghilangkan tabiat pergerakan itu. Terutama sebagai bagian dari kesadaran sosial warga negara dan pernah menjadi aktivis. Sejauh ini belum pernah menemukan dan mengalami realitas ketika nasionalis dan agama, khususnya Islam dipertentangkan seperti sekarang ini. Equivalen dengan Pancasila dan UUD 1945 yang marginal. Islam seolah-olah menjadi musuh negara yang justru ada sebagai mayoritas dan ikut membidani kelahiran NKRI dengan energi dan pengorbanan besar. Saya tidak tahu apakah ini karena konspirasi jahat global atau memang sekedar begitu sontoloyo pengelola lokal negeri ini.

Baca juga :   Jusuf Kalla, La Ode Umar dan Politik Identitas

Saya tidak tahu dan tidak peduli lagi seperti apa julukan kepada saya soal keberadaannya di pendulum ideologi itu. Apakah ada di kanan, atau di tengah, atau mungkin di kiri yang Marxis. Bagaimana karakeristik saya sebagai seorang nasionalis atau Islam atau mungkin kiri sekalipun yang diyakini identik sebagai sosialisme dalam Islam. Saya juga mengalami tudingan penghianat di kalangan nasionalis atau teralienasi dari barisan nasionalis Soekarnois. Apapun tendensi semua itu mengarah, saya hanya tahu saya seorang muslim. Bahkan, saat sebelum dilahirkan, pada usia 4 bulan ketika masih janin dalam kandungan, sesungguhnya saya telah berkomitmen Islam. Saya dan seluruh umat Islam di dunia hakekatnya telah melakukan konsensus sekaligus ikrar hanya menyembah Allah SWT dan keimanannya kepada ajaran Islam, jauh sebelum mengenal ideologi dan belajar paham-paham lain, saat terlahir dan melakukan “show of force” kesombongannya di muka bumi ini.

Alhamdulillah dan insya Allah, saya menjunjung tinggi keberadaan Pancasila dan NKRI. Berusaha menyatu dalam setiap ikhtiar membela dan memperjuangkan masa depan Indonesia sekuatnya dari penjajajahan imperilaisme dan kolonialisme gaya baru. Akan tetapi lebih dari itu, saya juga tak akan bisa memaafkan diri sendiri jika melihat dan membiarkan ada penindasan terhadap umat Islam yang republik ini lahir dari rahimnya.

Mungkin inilah sekedar catatan ideologis dari seorang aktivis Islam yang nasionalis, yang terus dirundung kegelisahan dan kegetiran dari disparitas agama dan nasionalis yang terus berseteru. Sementara di sisi lain, predator atas nama kapitalisme dan komunisme menjadi maut dan siap memangsa negeri ini mulai dari pondasi, pilar, dan struktur kebangsaan yang ada.

Pada akhirnya, di tengah tradisi memelihara kesadaran kritis dan eling (ingat), saya lebih memilih berada di luar “comport zone” dan tetap menghindari berada dalam sistem kekuasaan, dengan siapapun rezimnya hingga akhir hayat. Saya lebih memilih jalan pengabdian sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang sudah saya geluti lebih dari 20 tahun di bawah Kementerian Sosial RI. Sambil menyampaikan aspirasi arus bawah, sesekali berkreasi menggugat dan membangun perlawanan bersama elemen perubahan lainnya. Tak lagi seperti masih menjadi aktivis pergerakan. Saya sekarang hanya mampu bersuara lantang dan tajam melalui kata-kata yang tertulis. Aneka tulisan yang berusaha mengangkat rasa Islam esensi dan substantif, juga menyengat beraroma nasionalis.

Terima kasih, semoga dapat memberi hikmah siapapun yang membacanya. Terlepas sisi baik buruknya dan makna hitam putih goresannya yang tertuang.

 

Yusuf Blegur;
Penulis adalah Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari, Jakarta

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *