INDOSatu.co – GARUT – Gunung Cikuray, Kabupaten Garut, Jawa Barat, menjadi saksi bertemunya para aktivis era 70-an hingga aktivis 98. Mereka menyuarakan satu tekad, meminta Joko Widodo mundur sebagai presiden usai masa jabatannya berakhir. Mereka membungkus kegiatan tersebut dengan titel Reuni Lintas Generasi.
”Tidak ada istilah menunda pemilu, apalagi perpanjangan masa jabatan presiden,” kata Syahganda Nainggolan dalam pernyataannya kepada INDOSatu.co, Ahad (19/6).
Menariknya, selain menyoroti wacana tunda pemilu dan perpanjangan jabatan presiden, dalam reuni tersebut, mereka juga memunculkan nama aktivis perburuan Moh. Jumhur Hidayat sebagai capres alternatif menghadapi Pilpres 2024 mendatang. Selain berpengalaman, Jumhur Hidayat juga dinilai memiliki jaringan luas, termasuk profesi yang digeluti saat ini, sebagai aktivis perburuhan.
Para aktivis lintas generasi yang tampak bergabung dalam kegiatan yang digelar selama dua hari itu, selain Syahganda Nainggolan, juga tampak Hariman Siregar, Paska Irianto, In’am, Jumhur Hidayat (tokoh buruh), Agustiana (Serikat Tani), Hasanuddin dan Marlin Dinamikamto (Repdem-PDIP) serta ratusan aktivis lain dari lintas generasi lainnya. Tampak pula aktivis Perempuan Soenjati, Rinjani dan sebagainya.
Koordinator Siaga 98 Hasanudin mengatakan, kegiatan konsolidasi ini sengaja digelar untuk memberi peringatan kepada Presiden Joko Widodo untuk turun terhormat setelah masa jabatannya berakhir pada tahun 2024.
“Jadi, jangan lagi ada upaya untuk memperpanjang jabatan. Saya yang pendukung berat Jokowi, sudah taubat tidak lagi mendukung Jokowi jika upaya inkonstitusional terus berlangsung,” kata Hasanudin.
Acara yang berlangsung sejak siang hari itu, ditutup pada malam hari dengan orasi tiga mantan tahanan politik (tapol), yakni Andrianto, Jumhur Hidayat, dan Syahganda Nainggolan.
Syahganda Nainggolan, yang kini menjadi salah satu inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), mengatakan bahwa, era hari ini tidak jauh berbeda dengan era kolonial. Yakni, kondisi di mana rezim dikuasai oligarki.
Pertanyaan itu diamini Jumhur Hidayat. Bagi dia, keberadaan oligarki dan gaya kepemimpinan kolonial dapat dilihat dari bagaimana negara memperlakukan buruh atau kelompok pekerja.
“Nasib buruh sangat tertindas di rezim hari ini. Upah buruh tidak jauh berbeda dengan era Kolonial Belanda,” tegas Jumhur.
Sementara itu, Andrianto sebagai pelaku sejarah 98, menyoroti politik pecah belah yang masih terjadi. Dia meminta rezim Jokowi untuk akhiri politik pecah belah rakyat, terlebih Indonesia akan menyambut Pemilu Serentak 2024.
“Karena itu, kita sudahi narasi kadrun dan cebong. Kita bersatu melawan musuh utama yakni oligarki yang serakah,” tandas Andrianto. (adi/red)