Akademisi Tengarai, Korupsi dan Desentralisasi Politik Masih Terjadi di Masa Transisi

  • Bagikan
KAJIAN PUBLIK: Seminal nasional yang digelar KAPSIPI dan ADIPSI 2024-2027 dengan tema “Tantangan Transformasi Tata Kelola Pemerintahan dan Dampaknya Pada Sektor Ekonomi dan Sosial” yang digelar di Ruang Sidang AR Fachruddin A Lantai 5 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada Jumat (18/10).

INDOSatu.co – YOGYAKARTA – Menjelang pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober 2024, Indonesia dihadapkan pada kondisi transisi pemerintahan yang tidak ringan. Yakni peralihan dari Presiden Joko Widodo kepada presiden terpilih Prabowo Subianto. Masa transisi pemerintahan itu sangat krusial karena akan berdampak pada sektor ekonomi dan juga sosial.

Menanggapi isu tersebut, Kesatuan Program Studi Ilmu Pemerintahan Indonesia (KAPSIPI) dan Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintah Seluruh Indonesia (ADIPSI) 2024-2027 menggelar seminar nasional dengan tema “Tantangan Transformasi Tata Kelola Pemerintahan dan Dampaknya Pada Sektor Ekonomi dan Sosial” di Ruang Sidang AR Fachruddin A Lantai 5 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada Jumat (18/10).

Faktanya, pada masa transisi pemerintahan ini Indonesia sedang menghadapi proses paradoks era Prabowo-Gibran. Sebagaimana disampaikan Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag, Guru Besar Sosiologi UMY bahwa, adanya paradoks moral,– etik penyelenggara institusi negara di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto perlu disoroti.

Menyoroti paradoks tersebut, kata Zuly, memunculkan gaya hidup hedonisme kelas kakap. Sehingga timbul sikap konsumtif oleh penyelenggara dan pemegang institusi negara bahkan lembaga politik. Zuly menyatakan, paradoks ini jelas terasa karena dibuktikan dengan angka kemiskinan yang semakin meningkat, bahkan untuk mengenyam pendidikan tinggi juga sulit dijalani oleh masyarakat Indonesia.

Baca juga :   Orbitkan Mahasiswa untuk Lintas Negara, UMY Kirim 38 Mahasiswa ke Tujuh Negara

Kedua, kata Zuly, munculnya fenomena politisi “rabun ayam” dan pendendam pada lawan politik. Ketiga, adanya fenomena jual beli gelar akademik hingga jabatan fungsional.

“Bahkan sekarang banyak ditemui munculnya makelar politik yang digunakan hanya untuk kepentingan pribadi. Tentu hal ini menjadi permasalahan yang besar dan dapat mempengaruhi stabilitas negara kita,” tegas Zuly.

Sependapat dengan Zuly, Ketua umum ADIPSI Dr. M. Nur Alamsyah, S.IP., M.Si menyatakan, polaritas tersebut menyebabkan pemerintah melupakan esensi tata kelola pemerintahan, melainkan hanya fokus kepada kekuasaan semata. Salah satu dampak nyatanya ditunjukkan dengan adanya tingkat kasus korupsi di Indonesia yang belum menyurut. Nur menegaskan bahwa, korupsi di Indonesia bukan hanya tentang uang, tetapi juga dengan wewenang.

Baca juga :   Didampingi Tiga Asisten, Ahmad Ali Ditunjuk Anies Baswedan Jadi Pelatih Kepala Timnas AMIN

“Legitimasi dalam penata kelolaan pemerintah di Indonesia bisa dikatakan tidak jelas, sehingga mengaburkan banyak aspek yang seharusnya bisa menjadi ruang dalam pengendalian korupsi. Korupsi bukan hanya lahir dari penyalahgunaan uang, tetapi yang paling parah adalah penyalahgunaan wewenang,” tandas Nur. Meski demikian, Nur merasa para penyelenggara negara sudah kehilangan empati dan kesadaran untuk tidak terlibat dalam konflik kepentingan yang baru-baru ini marak terjadi.

Selain itu, Ketua ADIPSI ini menyebutkan, permasalahan tata kelola pemerintahan di Indonesia juga selalu bermasalah dengan hubungan dan komunikasi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Hal tersebut nantinya juga akan menjadi permasalahan utama bagi Presiden Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka selaku Wakil Presiden terpilih.

“Otonomi daerah nampaknya sekarang sudah mulai ‘dibajak’, karena semua hal yang ada di daerah ditentukan oleh pusat bukan dengan daerahnya sendiri. Ini menjadi satu masalah yang membawa kesenjangan secara tidak langsung,” tambahnya.

Baca juga :   Singkirkan 14 Finalis, Pustakawan UMY Raih Juara Pertama Nasional, Siap Terbang ke Belanda

Fenomena kesenjangan ini ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan setiap daerah yang tidak signifikan. Ketika merujuk pada indeks pembangunan daerah, beberapa daerah tidak stabil dalam pencapaian indeks tersebut bahkan mengalami kemunduran dalam pembangunannya seperti contohnya pada Gorontalo. Namun, banyak juga daerah di Indonesia yang mengalami kemajuan.

“Ketika setiap daerah di Indonesia tidak bertumbuh secara bersama-sama, hal ini dapat menimbulkan kesenjangan yang saat ini masih terus diproduksi oleh bangsa kita,” ucapnya.

Ia pun berharap Indonesia bisa segera berbenah untuk menyambut dan mewujudkan kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik dengan kontekstualisasi global yang ada saat ini.

“Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah harus memberikan solusi konkret untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Memberikan solusi dengan tetap memperhatikan aspek bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan UUD 1945,” pungkasnya. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *