INDOSatu.co – MALANG – Gonjang-ganjing diinternal DPD RI terkait rencana pergantian Fadel Muhammad, dari posisinya sebagai Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD tak luput dari perhatian di kalangan akademisi. Aan Eko Widiarto adalah salah satunya.
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) sekaligus dosen Fakultas Hukum dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur tersebut menilai bahwa, usulan pergantian Fadel di tengah jalan tersebut tidak sesuai dengan tata tertib (tatib), baik tatib MPR maupun DPD.
‘’Kalau pergantian itu diteruskan, malah jadi bahan tertawaan publik. Karena faktanya, jabatan Pak Fadel itu periodesasinya 2019-2024,’’ kata Aan Eko Widiarto saat dihubungi INDOSatu.co via ponselnya, Senin (22/8).
Fadel, kata Aan, bisa diganti dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, ungkap dia, yang bersangkutan mengundurkan diri, sakit permanen (sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai wakil ketua MPR), atau meninggal dunia. Jika tiga unsur tersebut tidak terpenuhi, maka pergantian tersebut dinilai cacat prosedur.
‘’Sekali lagi, ditatib-nya memang tidak bisa mengganti seseorang tanpa prosedur dan aturan dalam perundang-undangan. Jadi, tidak bisa DPD berwenang menarik jabatan seseorang, kecuali terjadi tiga sebab yang saya sebut tadi,’’ kata Aan.
Selain itu, kata Aan, pergantian Fadel di tengah jalan juga dinilai cacat substansi tindakan. Cacat substansi dibagi menjadi dua, yakni melampaui wewenang dan kesewenang-wenangan. Melampaui wewenang yang dimaksud, kata Aan, yakni DPD memang tidak berwenang melakukan pergantian Fadel dari wakil ketua MPR.
Jika pergantian itu dipaksakan, ungkap Aan, berarti DPD harus siap menghadapi resiko dan menanggung konsekuensi yang tidak ringan. Dan yang kedua, adalah kesewenang-wenangan. Di alam demokrasi seperti sekarang ini, apapun mestinya bisa diselesaikan dengan cara komunikasi yang konstruktif.
‘’Kecuali mengalami tiga hal tadi ya. Pak Fadel kan masih segar bugar. Dengan diganti secara tidak wajar, jelas itu merugikan Pak Fadel, baik secara moril maupun materiil. Dan mosi tidak percaya itu juga tidak ada landasan hukumnya,’’ kata Aan.
Terkait langkah Fadel membawa ke ranah hukum kasus tersebut, Aan menilai itu tergantung Fadel sendiri. Hanya saja, proses pengadilan dinilainya merupakan langkah yang tepat untuk mendapat kepastian hukum, jika proses mediasi menemui jalan buntu. ‘’Proses hukum menurut saya cukup fair. Malu juga kalau wakil rakyat gontok-gontokan untuk hal-hal yang tidak prinsip,’’ kata Aan.
Meski tidak menyarankan, beber Aan, terkait kasus Fadel, yang bersangkutan bisa menempuh beberapa cara dalam proses hukum. Bisa secara pidana maupun perdata. Sebab, proses pergantian tersebut dianggap sama saja dengan penyalahgunaan jabatan dan wewenang. ‘’Dan itu ada konsekuensinya,’’ kata Aan.
Kedua, kata Aan, juga bisa lewat PTUN. Mengapa, karena terkait objek pergantian itu melalui sidang paripurna. Selain itu, bisa juga Fadel melaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPD. ‘’Kalau yang BK terkait dengan etika pergantian itu sendiri. Etikanya ya karena pergantian yang tanpa dasar hukum tadi,’’ kata Aan.
Dan terakhir, karena merasa dicemarkan dan dirugikan, Fadel bisa juga menggugat secara perdata. Untuk gugatan perdata bisa dilakukan belakangan setelah melihat hasil tiga proses hukum persidangan nanti. ‘’Dan itu bisa berupa materi. Saya meyakini proses hukum kasus tersebut akan memakan waktu yang panjang,’’ pungkas Aan.
Seperti diberitakan, Senator asal Gorontalo, Fadel Muhammad, akhirnya menggugat DPD RI dan pimpinannya. Penyebabnya, Fadel diganti dari posisinya sebagai wakil ketua MPR dari unsur DPD tanpa terjadi adanya pelanggaran. Mantan Gubernur Gorontalo dua periode tersebut menggandeng pengacara Elza Syarief.
Bukan itu saja. Sebanyak 10 pengacara lainnya yang akan bergabung dan menangani masalah Fadel Muhammad tersebut. Sehingga, total ada 11 pengacara akan membela Fadel yang pencopotannya sebagai wakil ketua MPR RI dinilai ilegal dan inkonstitusional tersebut. (adi/red)