INDOSatu.co – JAKARTA – Aksi demo penolakan sebagian mahasiswa dan warga di Aceh terhadap pengungsi Rohingya akhirnya sampai ke meja Majelis Perwakilan Rakyat (MPR). Wakil Ketua MPR Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid MA (HNW) misalnya, mengaku prihatin dengan aksi penolakan tersebut.
Apalagi bila dikaitkan dengan keislaman antara pengungsi dari Rohingya dan warga Aceh yang pernah merasakan kejahatan politik dan sama-sama Muslim. Sudah seharusnya tidak terjadi pengusiran ataupun penolakan. Meski demikian, HNW, sapaan akrabnya, mengatakan permasalahan berdatangan pengungsi dari Rohingya itu memang harus disikapi secara komprehensif.
“Masalah pengungsi Rohingya bukan persoalan sederhana. Selain yang terkait dengan represi oleh rezim Myanmar, juga ada isu perdagangan orang, bahkan upaya mendiskreditkan Indonesia yang dikenal juga membela bangsa Palestina” ujar HNW.
Kedatangan manusia perahu secara bergelombang ke Indonesia, menurut HNW, memerlukan keseriusan dan kehadiran banyak pihak. Tidak hanya pemerintah Aceh, tetapi juga pemerintah pusat, ASEAN, dan dunia internasional. Bahkan, akar masalahnya harus diselesaikan juga, yakni sikap represif pemerintah Myanmar dan diberikannya status kewarganegaraan terhadap warga Rohingya sebagaimana dahulu dijanjikan saat sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Burma, yang belakangan berubah menjadi Myanmar, pada tahun 1948.

Dalam menyikapi kedatangan manusia perahu, Ketua Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur itu mengungkapkan, Indonesia sudah mempunyai pengalaman saat berhasil membantu/menerima ratusan ribu manusia perahu dari Vietnam sekalipun agama mereka bukan Islam. Mereka ditempatkan di Pulau Galang, Kepulauan Riau.
Saat itu, Indonesia didukung oleh badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi, UNHCR. “UNHCR saat itu mendukung penuh proses penerimaan dan pembiayaan pengungsi dari Vietnam” ujarnya. Dari kesuksesan Indonesia dalam menangani pengungsi Vietnam, HNW menegaskan UNHCR harus dilibatkan dalam masalah pengungsi Rohingya.
Pengungsi Rohingya yang sudah mendarat di Indonesia. Menurut alumni Universitas Madinah, Arab Saudi, itu, mereka perlu dibantu, tapi agar tidak menimbulkan friksi dengan masyarakat. Karena itu, sebaiknya mereka ditempatkan di kawasan khusus, seperti di Pulau Galang atau pulau-pulau yang lain. Menempatkan di pulau-pulau yang lain, menurut HNW, sangat mungkin karena Indonesia memiliki banyak pulau tanpa penghuni.
“Ini dilakukan agar tidak bersinggungan dan menimbulkan permasalahan dengan warga lokal,” paparnya.

Pengungsi Rohingya, pria asli Prambanan, Klaten, Jawa Tengah itu, bukan menjadikan Indonesia sebagai tujuan akhir. Mereka mencari negara-negara yang memberi suaka politik maupun kemanusiaan, seperti Australia dan Kanada.
Untuk menuju ke Australia dan Kanada, di Pulau Galang atau di pulau-pulau kosong lainnya, mereka ditampung. Di sana para pengungsi Rohingya diberdayakan bersama UNHCR maupun lembaga kemanusiaan lainnya secara manusiawi agar mereka siap melanjutkan proses mencari negara yang dituju.
”Sebagai negara pendiri ASEAN, dengan jumlah umat Islam terbesar, wajar saja Indonesia berperan lebih aktif dan efektif, untuk menghasilkan keberpihakan bagi penyelesaian masalah Rohingya secara adil dan permanen. Untuk perdamaian dan keadilan di ASEAN” pungkas HNW. (*)