Fatmawati, Pahlawan Nasional, Aktivis Nasyiatul Aisyiyah dari Bengkulu

  • Bagikan
LAHIR DARI AKTIVIS: Fatmawati, istri Proklamator Ir Soekarno. Ditetapkan menjadi pahlawan nasional karena jasanya bagi Kemerdekaan Republik Indonesia.

INDOSatu.co – JAKARTA – Kemerdekaan Republik Indonesia tidak lepas dari seorang perempuan kelahiran Bengkulu pada hari  Senin 5 Februari 1923. Dia bernama Fatmawati. Fatmawati adalah istri Sang Proklamator, Ir. Soekarno yang menjahit sang saka merah putih pertama Republik Indonesia dengan mesin jahit tangan di ruang tamu rumahnya. Fatmawati pun mendapatkan julukan “Merpati dari Bengkulu” dalam buku Bung Karno Masa Muda terbitan Pustaka Antar Kota pada tahun 1978.

Dikutip dari muhammadiyah.or.id, Fatmawati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 118 Tahun 2000 atas jasanya terhadap revolusi kemerdekaan. Ia lahir dari keluarga Muhammadiyah di Bengkulu.

Ayah Fatmawati bernama Hasan Din dan ibunya bernama Siti Jubaidah. Keduanya telah menjabat sebagai konsul Muhammadiyah dan Aisyiah sejak Fatmawati menginjak usia remaja. Selain itu, Hasan Din juga memiliki garis keturunan bangsawan dari Kesultanan Indrapura Mukomuko, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Baca juga :   Prihatin Perilaku Politik Jokowi, Puluhan Guru Besar UGM Lahirkan Petisi Bulaksumur

Meskipun saat Fatmawati lahir Muhammadiyah belum memiliki cabang resmi di luar Jawa. Tetapi, antara tahun tersebut hingga 1925 saat kedatangan seorang nasionalis pendiri Sarekat Ambon Alexander Jacob AJ Patty di Bengkulu untuk menjalani masa pembuangannya, ditengarai sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi pergerakan di Bengkulu.

Dalam biografi Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1985), Muhammadiyah ketika itu langsung memanfaatkan kehadiran AJ Patty untuk turut berkiprah dalam pengembangan pendidikan Muhammadiyah yang segera dianggap pemerintah kolonial Belanda sebagai ancaman.

 

Keputusan Muhammadiyah Bengkulu itu mengakibatkan ayah Fatmawati, Hasan Din yang merupakan pegawai perusahaan lima besar Belanda bernama Borsumij (Borneo-Sumatra Maatschappij) sekaligus menjabat sebagai sekretaris Muhammadiyah dituntut oleh pemerintah kolonial untuk memilih satu di antara dua pilihan: keluar dari Borsumij atau menghentikan kegiatannya di Muhammadiyah yang seringkali konfrontatif terhadap pemerintah seperti rapat atau mengadakan arak-arakan yang berujung di kantor polisi.

Baca juga :   Terima 8 Taipan ke Istana, Prabowo Bicara Program Strategis hingga Danantara

Suasana Indonesia pada 1923-1930 yang subur oleh pergerakan nasional membuat Hasan Din tidak berpikir panjang untuk keluar dari Borsumy—yang menyediakan jaminan hidup layak dan memulai hidup dengan pendapatan tak menentu atas keputusannya untuk tetap berkhidmah pada Muhammadiyah sebagai jalur perjuangan kemerdekaan.

Bermula dari kedua orang tuanyalah Fatmawati mulai mengenal dan melibatkan diri dalam konferensi Muhammadiyah yang digelar secara rutin untuk membaca Al-Qur’an dan menyanyi. Fatmawati pernah ditunjuk sebagai pembaca ayat suci Alquran pada pembukaan Kongres Muhammadiyah di Palembang pada tahun 1936.

Baca juga :   Sikapi Wacana Cak Imin soal Pemilu Ditunda, Yusril: Bisa Timbul Konflik

Sejak remaja Fatmawati merupakan pelopor penggerak Nasyiatul Aisyiyah di Bengkulu. Kesetiaan terhadap Muhammadiyah melalui Nasyiatul Aisyiyah merupakan hasil penanaman norma Islam yang mendalam dan norma anti kolonialisme

Sejak remaja, Fatmawati selalu terlibat aktif dan berpartisipasi dalam berbagai pertemuan dan konferensi yang digelar oleh Muhammadiyah sebagai perwakilan dari Nasyiatul Aisyiyah. Meskipun tidak menjadi ketua, tetapi Nasyiatul Aisyiyah sangat berpengaruh terhadap jiwa, sikap dan perilakunya. Juga setelah menikah, bahkan ketika menjadi ibu Negara, Fatmawati tetap lekat dengan ajaran, prinsip dan tradisi Nasyiatul Aisyiyah. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *