Ganti Presiden Lebih Mendesak Ketimbang Pindah Ibu Kota

  • Bagikan

UNDANG-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) sudah disahkan DPR RI. Pengesahannya juga tergolong singkat. Bahkan, ada kesan terburu-terburu. Tak heran banyak kalangan menilai, pengesahan UU tersebut merupakan upaya melegalisasi kejahatan borjuasi korporasi dan membiarkan kuku-kuku oligarki mencengkeram negeri. Dengan kata lain, konstitusi direkayasa untuk melindungi para cukong untuk terus merampok sumber daya alam sembari mengembangbiakan korupsi, membuat kerusakan alam, dan menciptakan konflik horisontal sesama anak bangsa.

Sementara di sisi lain, presiden dianggap gagal menunjukkan kualitas kepemimpinannya, jika tidak bisa disebut dungu. Alih-alih berprestasi membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Presiden justru membawa negara menuju kebangkrutan dan disintegrasi bangsa. Negara diambang kehancuran sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan nasional. Kalau tidak dijajah kembali oleh asing dan aseng, bisa jadi NKRI bubar seperti yang disampaikan Prabowo Subianto dan Amien Rais.

Presiden Jokowi memimpin negara dengan begitu maraknya KKN, utang negara yang menjulang yang sulit untuk dikembalikan. Penyelenggaraan pemerintahan mengangkangi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Rakyat Indonesia tak lagi bisa mengambil resiko dan segala kemungkinan terburuk, bahkan tidak bisa menunggu lagi hingga sisa waktu jabatan presiden berakhir. Meski pesimistis, masih ada kemungkinan lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR, MPR dan DPD menggunakan pertanggungjawaban moral dunia akherat dan amanat konstitusinya menyelamatkan negara bangsa. Atau memang revolusi rakyat Indonesia menjadi satu-satunya pilihan, dan yang tak terhindarkan.

Baca juga :   Mendag Zulkifli Hasan Sangat Kejam Hambat Kiriman PMI

Terpuruknya kehidupan rakyat Indonesia, telah membawa negara dalam kondisi darurat kenegaraan dan kebangsaan. Berbagai rekayasa dan pengalihan isu tak mampu menghilangkan distorsi kebijakan seperti, Omnibus Law dan UU IKN. Sebelum lebih jauh menimbulkan banyak masalah yang berujung pada kesengsaraan rakyat. Terlebih pada polemik dan kontroversi ibu kota negara baru yang membutuhkan biaya hampir Rp 500 triliun, sementara pemerintah membutuhkan biaya tidak sedikit untuk pemulihan ekonomi negara. Saat rakyat dengan kemiskinan bertahan hidup karena pandemi, kengototan pemindahan ibu kota negara menandakan gejala hiprokat dan sakit jiwa para penyelenggara negara, utamanya seorang presiden.

Baca juga :   Gibran Kontroversi Cawapres

Jadi, ibarat dipaksa melakukan perjudian yang dengan nafsu memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Terutama ketika akal sehat, basis akademis, logika hukum dan konstitusi tak dipakai dalam praktik-praktik penyelenggaraan negara. Ada baiknya seluruh rakyat Indonesia mengganti presiden ketimbang memindahkan ibu kota. Selayaknya menjadi agenda yang mendesak dan menjadi skala prioritas bagi negara ini. Itupun jika bangsa Indonesia masih mau selamat dan memiliki masa depan yang jauh lebih baik.

Menjadi keharusan bagi pemerintah, bahwa memindahkan ibu kota negara itu membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Melewati tahap perencanaan, persiapan dan pembangunan yang matang. Ada studi kelayakan dan tinjauan dampak lingkungan (amdal) yang menjadi syarat utama dan mutlak harus dipenuhi. Memindahkan ibu kota tak seperti memindahkan kontrakan atau kos-kosan.

Baca juga :   Jejak Intervensi Jokowi, Niat dan Aksi Lumpuhkan KPK (Bagian 1)

Belum lagi pada konsep pembangunan yang harus ramah pada kekayaan adat istiadat dan budaya lokal. Bukan hanya pada populasi penduduk asli, namun juga tidak mengabaikan ekosistem yang sudah berlangsung lama di sana. Termasuk habitat tumbuhan dan hewan yang dilindungi.

Jadi, betapa bermasalah pemindahan ibu kota baru itu, memang menjadi persoalan yang pelik, yang terintegrasi dengan persoalan sumber daya manusia, sumber daya alam, serta sistem dan kebijakan yang akan diberlakukan. Semua itu bukanlah hal yang mudah dan tidak seperti sim salabim untuk mewujudkannya. Tentu, selain membutuhkan anggaran yang berbiaya super besar, jika memang ada.

Selamat memilih presiden baru, bukan membangun ibu kota baru.

Yusuf Blegur;
Penulis adalah Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari, Jakarta.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *