Mengapa saat PLN Berdiri Bernama Jawatan Gas dan Listrik Negara?

  • Bagikan

PERUSAHAAN Listrik Negara (PLN) kali pertama berdiri pada 27 Oktober 1945. Waktu itu namanya tidak PT PLN seperti yang kita lihat sekarang. Dulu, perusahaan jasa setrum negara ini bernama; Jawatan Gas dan Listrik Negara. Pertanyaannya, mengapa nama itu yang dipilih?

1. Landasan Ideologis

Mr. Kasman Singodimedjo (tokoh Muhammadiyah/Masyumi), sang penggagas dan inisiator nasionalisasi perusahaan listrik Belanda NV Ogem, Aniem, Gebeo, dan lain lain menjadi PLN seperti sekarang ternyata bermodalkan Ideologi Etatisme (ruh Pancasila) dan Ta’jul Furudz (ideologi Islam), yaitu hadits Riwayat Ahmad yang berbunyi; Almuslimuuna shuroka’u fi shalashin fil ma’i wal kala’i wan nar wa shamanuhu haram, yang inherent dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, bahwa; “Cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara”.

Dalam hadits di atas bahwa; air, ladang, dan api (energi, minyak, listrik) harus dikuasai Khalifah/Pemerintah/Negara atau “Public good” agar tidak jatuh ke tangan orang per orang secara komersial atau ‘commercial good’ yang berakibat rakyat tertindas kekuatan modal/kapitalis! (penjelasan Pasal 33 UUD 1945).

Baca juga :   Lawan Inflasi 8.50 Persen, Bank Sentral AS Bakal Naikkan Interest Rate 0.50 Persen Juni 2022

Maka, hasil nasionalisasi perusahaan listrik Belanda tersebut akhirnya dinamai ‘Jawatan Gas dan Listrik Negara’ (dan bukan PT. Persero yang rentan dikuasai “Peng Peng semacam JK, Luhut, Dahlan Iskan, Erick Tohir).

2. Landasan Strategis

Perusahaan yang berorientasi terhadap penyediaan listrik di atas dijadikan satu secara integral dengan energi primer-nya (gas dan batu bara). Artinya, dari hulu (energi primer) sampai ke hilir (distribusi/ritail) harus berupa satu mata rantai pasok (supply energy chain) atau secara “vertically integrated system”, bukan terpisah pisah secara “unbundling system” seperti yang terjadi sekarang ini. Gara garanya, ya diacak-acak “Peng Peng” tadi itu.

Dengan dilandasi semangat di atas, maka nasionalisasi kelistrikan kemudian diberi nama “Perusahaan Gas dan Listrik Negara”. Artinya, sekali lagi, rantai pasok atau energy chain-nya mengikuti filosofi hadits di atas serta pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Yang semuanya haram dikomersialkan sebagai “commercial good” dan harus dikuasai Khalifah/Negara sebagai komoditas “public good”.

3. Landasan Ekonomi/Teknis

Pengambilalihan perusahaan listrik Belanda menjadi Jawatan Gas dan Listrik Negara dari sisi keuangan negara (apalagi baru saja merdeka) sangatlah berat. Dan lebih simpel sebenarnya, apabila diserahkan saja ke perusahaan-perusahaan asing yang ada. Namun, mengingat pertimbangan ideologi etatisme/ta’jul furudz serta pertimbangan kedaulatan, maka seberat apapun harus dihandel oleh Pemerintah/Negara.

Baca juga :   Berbondong-Bondong Jadi Munafik, Dasar Kampret!

Berbeda dengan zaman “now”. Kendala keuangan justru dimanfaatkan oleh oligarki “Peng Peng” semacam JK, Luhut, Dahlan Iskan, Erick Tohir dan lain-lain, untuk berangkulan dengan perusahaan-perusahaan China Komunis seperti Shenhua, Huadian, Chengda, CNEEC, serta Taipan 9 Naga untuk mengambil alih PLN guna kepentingan pribadi dan oligarki-nya dengan memanfaatkan subsidi yang berasal dari hutang luar negeri (China) yang jumlahnya ratusan triliun setiap tahunnya. Dan, yang lebih miris, PLN dipaksa membuat Laporan Keuangan yang pura pura untung. Padahal, sebenarnya, PLN tidak hanya buntung. Tapi sangat-sangat buntung.

Ada perbedaan ideologi yang menjadikan orientasi pengelolaan Listrik Negara, yang semula listrik dianggap “public good” pada zaman Mr. Kasman Singodimedjo (era Founding Fathers), dimana kelistrikan harus diperjuangkan guna mengamalkan hadits Riwayat Ahmad (Ideologi Islam) dan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, dengan ideologi saat ini. Dengan alasan kesulitan keuangan/ekonomi, justru dimanfaatkan para oligarki “Peng Peng” untuk berangkulan dengan aseng/asing dan taipan 9 Naga dengan menggadaikan ideologi dan kedaulatan bangsa.

Baca juga :   Memperkuat Aspek Ketatanegaraan dan Urgensi Utusan Golongan di MPR

Ingat, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan pasal-pasal “unbundling” atau privatisasi UU Ketenagalistrikan melalui putusan Nomor: 001-021-022/PUU – I/2003 tanggal 15 Desember 2004 dan Putusan Nomor 111/PUU – XIII/2015 tanggal 14 Desember 2016.

Namun sayangnya, putusan-putusan di atas telah dilanggar oleh penguasa. Bahkan, dibuat UU Nomor 11/2020 tentang Omnibus Law Kluster Kelistrikan yang menghidupkan lagi pasal-pasal UU Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan MK, sehingga mengakibatkan tarif listrik menjadi liar dan naik berlipat-lipat karena sudah di luar kontrol negara.

Sebagai rakyat, kita tetap berpegang kepada Konstitusi. Tetapi, jika Konstitusi diacak-acak oleh oligarki penguasa yang berkolaborasi dengan China Komunis, kita usulkan agar Pancasila dan Konstitusi dibubarkan saja. Daripada, hanya menjadi alat pencitraan penguasa dan menyengsarakan rakyat.

Akan tetapi, jika usulan di atas tidak dilakukan penguasa, maka kita menilai telah terjadi “chaos konstitusi” yang biasanya akan memancing Revolusi!

Ahmad Daryoko;
Penulis adalah Koordinator INVEST, Jakarta.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *