EUFORIA Pilkada Serentak 2024 yang sekarang terjadi ternyata agak berbeda dengan pilkada pilkada sebelumnya. Pada pilkada kali ini, selain para calon yang tak hanya sekedar saling mengritisi antarpaslon, publik sepertinya juga sudah terpetakan. Tak hanya sekedar mengikuti, mencermati, tetapi juga mengkritisi perkembangan daerahnya.
Dalam pandangan saya sebagai praktisi pendidikan selama 44 tahun dan juga sebagai anggota Dewan Pendidikan di Kabupaten Bojonegoro, ada yang menggelitik dan tidak pernah berubah saat kampanye dari pilkada ke pilkada berikutnya, terutama yang menyangkut masalah pendidikan. Dunia pendidikan tak pernah luput dan sepi dari kampanye. Pendidikan menjadi komoditas yang mudah dijual oleh para calon.
Misalnya janji antarcalon. Jika yang belum menjabat, sebagian besar jualannya pasti akan menggratiskan biaya pendidikan. Tetapi, tidak demikian dengan calon calon incumbent. Calon petahana biasanya jualan soal mutu pendidikan. Misalnya perkembangan pendidikan meningkat tajam, layanan pendidikan merata sampai ke pelosok, sarana dan prasarana pendidikan telah dibangun sesuai ekspektasi masyarakat dan sebagainya.
Selain menggratiskan biaya pendidikan, calon kompetitor pasti melihat dari sisi yang berbeda; mutu pendidikan yang merosot, sarana prasarana rusak atau tidak memadai, masyarakat tercekik dengan biaya pendidikan anak, biaya mahal dan sebagainya.
Dengan melihat kekurangan di bidang pendidikan, munculah janji politik. Biasanya calon non incumbent mengobral janji yang kebangetan besarnya. Dan janji-janji dalam politik itu adalah hal yang lumrah. Misalnya, jika terpilih nanti, saya akan menggratiskan biaya pendidikan gratis dana lain-lain
Sementara, calon incumbent juga tak mau kalah. jika kelak saya terpilih kembali, kami akan tingkatkan bantuan pendidikan serta sarana dan prasarana akan kita gelontor lebih banyak lagi dan sebagainya. Kemudian para calon memaparkan data yang akurasinya juga kita ragukan.
Mencermati kampanye calon kepala daerah yang menawarkan pendidikan gratis, patut kiranya kita melihat rekam jejak si calon tersebut. Sebab, mungkin saja calon tersebut belum pernah menjadi pejabat publik. Padahal, masih banyak topik yang bisa diangkat dan itu tersebut lebih realistis. Misalnya, berkualitas terjangkau; berkualitas karena regulasi yang memberi ruang meningkatkan mutu, terjangkau jika ada keterbatasan anggaran pemerintah, tetapi ada peran orang tua siswa untuk menyubsidi dengan catatan transparan dan dapat dipertanggung jawabkan.
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 menyatakan bahwa peran orang tua murid itu antara lain:
- Menyusun AD dan ART Komite Sekolah.
- Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
- Melakukan kerja sama dengan masyarakat dan pemerintah dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
- Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan masyarakat.
- Memberi masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah mengenai: – kebijakan dan program sekolah, RAPBS, kriteria kinerja sekolah, kriteria tenaga kependidikan, kriteria fasilitas pendidikan, dan hal lain yang terkait dengan pendidikan.
- Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
- Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
- Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di sekolah.
Dari berbagai masalah pendidikan, kemudian muncullah pihak ketiga, yang memanfaatkan situasi dengan mengangkat dan mempermasalahkan dana partisipasi masyarakat. Bahkan, terkadang menakut nakuti, mengancam, mengkonfirmasi laporan keuangan, komite keuangan BOS, dan sebagainya.
Marilah kita kembali merujuk regulasi dan peraturan yang ada. Saya menulis artikel ini karena belum menemukan peraturan yang melarang partisipasi masyarakat. Dan saya juga belum pernah mendapatkan pedoman atau petunjuk bahwa, UPT (Sekolah) mempunyai kewajiban memberikan laporan belanjanya kepada pihak ketiga yang bukan regulator.
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 jelas dan tegas mengatur tentang sumbangan yang dihimpun dari masyarakat tidak dilarang. Pemanfaatan sumbangan partisipasi masyarakat digunakan untuk peningkatan layanan pendidikan di sekolah sepenuhnya diatur dan digunakan oleh komite sekolah untuk mendukung kualitas layanan pendidikan di sekolah.
Sejak SMA/SMK dan PKLK bergabung dengan pemerintahan Propinsi, harus diakui bahwa setelah regulator berganti ke gubernur, perhatian layanan dan upaya peningkatan kinerja sekolah lebih meningkat, berbagai prestasi anak didik maupun prestasi para guru, khususnya di wilayah cabdin Bojonegoro-Tuban naik pesat. Guru berprestasi, Kepala sekolah berprestasi sampai pengawas berprestasi dicapai oleh Cabdin Bojonegoro.
Melalui kompetisi GCC, dua tahun berturut turut sebagai juara umum. Semoga tahun ini, melalui Gempita tetap menjadi juara umum, Regulasi Tresur study, Pemantik, Pembatik Pendekar SMA Award, Cabdin Bojonegoro diapresiasi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jatim karena persentase kepersertaan Bojonegoro mencapai 95 persen. Siswa siswi di berbagai kompetisi juga meraih pengharagaan, baik tingkat Provinsi maupun Nasional. Dengan banyaknya prestasi, baik dari LKS, BKK award, Sekolah BLUD, Koperasi Sekolah, maupun kejuaraan yang lain, sampai-sampai Bojonegoro mendapat predikat kiblatnya Pendidikan Jawa Timur .
Ini semua menunjukkan bahwa kinerja sekolah atau pendidikan sangat luar biasa. Mereka tidak hanya memberikan layanan minimal atau standar (SPM), tetapi sudah memberikan layanan lebih, dan itu semua tidak lepas dari kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat (orang tua).
Ironisnya, ada saja sebagian masyarakat yang mengatasnamakan atribut tertentu, selalu dan selalu menulis berita minor tentang sekolah, Kadang mereka setengah mengancam dengan dalih mewakili orang tua siswa, ujung-ujungnya setelah dilakukan penelusuran dan klarifikasi, hal itu tidak benar. Mereka mengkritisi semata mata untuk dapat kompensasi, dalam kasus kasus seperti ini, penulis sengaja tidak menulis nama sekolah, demi menjaga privacy masing masing pihak. (*)
Drs H. Teguh Supriyadi, MM;
Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Bojonegoro.