INDOSatu.co – JAKARTA – Sebagai partai besar dan berpengalaman, PKS diminta tetap taat dan setia pada platform perjuangan partai. Sebab, PKS didirikan dengan tujuan memperjuangkan nilai-nilai politik luhur berdasarkan ideologi Islam. Nilai yang dicapai lewat kerja keras bukan melalui politik dagang sapi.
Pernyataan tersebut disampaikan Pengamat Politik dan dosen Sekolah Tinggi Dakwah Muhammad Natsir, Jakarta, Ahmad Murjoko menyikapi pernyataan Presiden PKS Achmad Syaikhu bahwa partainya membuka pembicaraan dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk bersama-sama ikut koalisi.
Konsekuensinya, kata Murjoko, akan mendukung Ridwan Kamil di Pilgub Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dan membatalkan dukungan kepada Anies yang sebelumnya sudah diumumkan secara terbuka.
PKS, kata Murjoko, didirikan untuk menampung aspirasi politik Islam perkotaan yang pada masa Orde Baru disingkirkan. Walaupun tidak disebut dalam namanya, warna Islam dari partai sangat dominan. Dalam sepak terjangnya selama ini, PKS konsisten mengartikulasi kepentingan dan aspirasi politik kelompok masyarakat ini.
“Dari fungsi sosialisasi dan pendidikan politik, nampak jelas PKS taat azas. Mereka jelas memperjuangkan nilai-nilai Islam kota. Mereka konsisten dengan keteguhan sikap yang berpatokan pada Quran dan Sunnah. Mereka menjauhi politik transaksional untuk kepentingan sesaat, materi dan kekuasaan,” kata peraih gelar master ilmu politik FISIP UI itu.
Dalam pendekatan itulah, jelas Murjoko, bisa dimengerti mengapa mereka mendukung Anies di Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres 2024. Mereka pun secara resmi mendukung Anies di Pilgub DKJ dan menyodorkan Sohibul Iman menjadi Cawagub. Sampai di sana semuanya masih di dalam koridor politik yang selama ini mereka bangun.
Menjadi mengagetkan tiba-tiba PKS mengubah pola tingkah laku politiknya. Bermula dengan alasan Anies tidak mampu memenuhi tenggat yang diberikan, mereka berniat membuka peluang koalisi dengan KIM. Tentunya konstituen mereka bertanya-tanya apa tujuan yang ingin dicapai.
PKS menunjukkan sikap kaku dengan menyodorkan Cawagub sebagai harga mati. Mestinya pada situasi tidak bisa ajukan paslon sendiri, ada kompromi dengan partai lain, sehingga situasi jalan buntu (deadlock) bisa dihindari. Kesannya sekarang, mereka sengaja membuntukan jalan, dan mencari jalan lain yang berbeda dari tujuan semula.
“Seharusnya PKS membuka pembicaraan dengan PDIP dan partai pendukung yang lain. Mereka malah jalan terus meninggalkan Anies untuk bergabung dalam koalisi baru yang cenderung berbeda dengan aspirasi politik arus bawah mereka,” kata pengarang buku Mosi Integrasi Natsir 1950 itu.
Dia mengimbau PKS untuk kembali ke khittah perjuangan partai yang mendahulukan kepentingan strategis dan mendasar daripada terjebak kepada hal-hal pragmatis, untuk raih kekuasaan dan materi. “Waktunya belum terlambat untuk kembali mendukung Anies dan setia kepada pemilih tradisional partai,” pungkas Ahmad Murjoko. (*)