Soal Kewenangan Mutlak Kemenag Atur Kuota Haji Tambahan, Pansus DPR: Jangan Sewenang-wenang

  • Bagikan
RESPON RINGAN SAKSI: Anggota Panitia Angket Haji dari Fraksi PKS Wisnu Wijaya merespon hasil survei pelaksanaan haji 2024 yang saat sedang dalam pembahasan serius dalam Pansus haji DPR RI.

INDOSatu.co – JAKARTA – Anggota Panitia Angket Haji dari Fraksi PKS Wisnu Wijaya menepis anggapan yang menyebut kewenangan pengaturan kuota haji tambahan mutlak pada Menteri Agama. Wisnu menilai pendapat tersebut perlu diluruskan, dan Kemenag tidak boleh sewenang-wenang merubah kuota haji tambahan.

“Di Pasal 9 Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah memang disebutkan bahwa penambahan kuota haji setelah Menteri menetapkan kuota haji diatur oleh Peraturan Menteri,” jelas Wisnu di Jakarta, Jumat (26/7).

Kendati demikian, Wisnu melanjutkan, di Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang juga diatur terkait dengan komposisi kuota haji khusus, yaitu sebesar 8 persen.

“Artinya, Pasal 62 ayat (2) ini berfungsi untuk ‘mengunci’ atau menetapkan ambang batas maksimal pengisian kuota haji khusus. Jadi, seyogyanya tidak bisa dimaknai hanya dengan berdasar pada Pasal 9 saja karena berpotensi menimbulkan tafsir seolah Menteri Agama memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur kuota haji tambahan sekehendaknya, sehingga membuatnya boleh mengisi kuota haji khusus melebihi batas yang sudah ditetapkan UU sebagaimana yang terjadi saat ini. Pasal 9 dan Pasal 62 ini terkait satu sama lain, tidak berdiri sendiri sehingga tidak bisa dimaknai parsial,” jelasnya.

Baca juga :   Prihatin Umpatan Capres Prabowo di Luar Debat, DPR RI: Bisa Diartikan Panasi Pendukung

Anggota Komisi VIII DPR ini mengatakan, perubahan atas penetapan kuota haji nasional berkonsekuensi pada perubahan postur anggaran yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan haji dimana anggaran tersebut dikelola oleh BPKH yang bersumber dari dana jemaah haji.

“Artinya, setiap sen rupiah yang dikeluarkan oleh BPKH atas permintaan Kementerian Agama guna penyelenggaraan haji wajib atas persetujuan DPR dalam kapasitasnya sebagai pengawas eksternal BPKH dan Kementerian Agama. Namun, dengan adanya kebijakan pengalihan kuota tambahan yang dilakukan sepihak oleh Kemenag lewat Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan tanpa konsultasi dengan DPR otomatis membuat besaran BPIH yang bersumber dari nilai manfaat yang sudah ditetapkan dalam Keppres Nomor 6 Tahun 2024 tentang BPIH jadi berubah,” jelasnya.

Baca juga :   Diduga Otak Pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo Resmi Ditetapkan Tersangka

Wisnu mengatakan, KMA Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan 1445 H/2024 M melanggar asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yakni peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

“KMA Nomor 13 Tahun 2024 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Keppres Nomor 6 Tahun 2024 tentang BPIH dan Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang sehingga kami nilai cacat hukum,” jelasnya.

Anggota DPR Dapil Jateng 1 ini juga menegaskan, kewenangan DPR menjangkau pada wilayah menolak atau menyetujui anggaran yang diminta Kemenag dari dana jemaah yang dikelola oleh BPKH untuk penyelenggaraan haji. Termasuk soal anggaran yang berubah akibat pengalihan kuota haji tambahan juga semestinya atas persetujuan DPR.

Baca juga :   Terkait Pemberangkatan Haji Khusus 2024, Pansus DPR: Diduga Manipulasi dan Data Tidak Sesuai

“Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji disebutkan besaran pengeluaran untuk penyelenggaraan ibadah haji ditetapkan oleh pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR. Kemudian di Pasal 16 juga disebutkan besaran persentase nilai manfaat keuangan haji ditetapkan setiap tahun oleh BPKH setelah mendapat persetujuan dari DPR. Lalu ada di Pasal 26 huruf e BPKH wajib melaporkan pelaksanaan pengelolaan keuangan haji secara berkala setiap 6 bulan kepada Menteri dan DPR. Terakhir, di Pasal 54 disebutkan pengawasan eksternal BPKH dilakukan oleh DPR,” bebernya.

Dengan demikian, lanjut Wisnu, klaim yang menyebut kewenangan pengaturan kuota haji tambahan mutlak pada Menteri Agama sehingga tidak perlu memperoleh persetujuan DPR dinilai tidak tepat dan tidak berdasar. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *