Ngawur dan Panik. Sri Mulyani: The Fed-Faktor Global, Rupiah Jadi Merosot (Bagian-1)

  • Bagikan

KURS rupiah terus merosot, menembus Rp 16.500 per dolar AS pada perdagangan Kamis, 20 Juni 2024. Kondisi ini memicu panik. Presiden Jokowi sangat panik. Sore harinya langsung memanggil Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa.

Dalam kepanikan ini, Perry Warjiyo dan Sri Mulyani berusaha tampil tegar. Mereka mengatakan fundamental ekonomi Indonesia dalam keadaan baik. Seperti biasa, yang disalahkan adalah faktor global. Menurut Sri Mulyani, merosotnya kurs rupiah karena ekonomi AS sedang kuat, sehingga The Fed (Bank sentral AS), sulit menurunkan suku bunga.

Dikutip dari CNBC Jumat, 21 Juni 2024, di depan Jokowi, Sri Mulyani menjelaskan tekanan yang terjadi pada rupiah beberapa hari terakhir sebetulnya disebabkan oleh faktor global, seperti kuatnya perekonomian AS yang menyebabkan bank sentralnya diduga banyak pelaku pasar masih akan sulit menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate.

Baca juga :   KTT ASEAN, G20 dan Perubahan Politik Jokowi

Pernyataan Sri Mulyani tersebut sangat mengecewakan, tidak ada dasar teori yang membenarkan pernyataan tersebu. Hal itu menjadi bukti bahwa Sri Mulyani tidak mempunyai kompetensi atau pengetahuan memadai terkait moneter. Bahaya. Pernyataan Sri Mulyani menunjukkan kepanikan yang luar biasa, sehingga mengeluarkan pernyataan blunder dan tidak masuk akal.

Kenapa The Fed harus menurunkan suku bunga acuannya, dan apa dampaknya terhadap rupiah? Pernyataan Sri Mulyani seolah-olah kurs rupiah ditentukan oleh suku bunga acuan The Fed? Seolah-olah, suku bunga The Fed turun, maka kurs rupiah akan menguat?

Intinya, Sri Mulyani berharap, kalau suku bunga The Fed turun, maka selisih suku bunga antara AS dan Indonesia melebar, sehingga dapat menarik investor asing untuk investasi di Indonesia, dan karena itu pula, membuat kurs rupiah menjadi menguat.

Tetapi, untuk memperlebar selisih suku bunga antara AS dan Indonesia, kenapa harus tergantung dari The Fed? Bukankah Bank Indonesia bisa menaikkan suku bunga acuannya untuk memperlebar selisih suku bunga antara AS dan Indonesia?

Baca juga :   Hilirisasi Nikel ala Jokowi Rugikan Keuangan Negara

Ternyata, BI memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 Juni 2024. Lantas, kenapa The Fed dan faktor global yang menjadi kambing hitam atas merosotnya kurs rupiah?

Pernyataan Sri Mulyani, bahwa anjloknya kurs rupiah karena The Fed tidak menurunkan suku bunga acuannya (Fed Funds Rate), menunjukkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia sangat buruk, karena tergantung dari kebijakan moneter asing.

Hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan moneter negara-negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Suku bunga acuan ketiga negara ASEAN tersebut, bahkan lebih rendah dari suku bunga acuan The Fed. Vietnam, Thailand, Malaysia menunjukkan fundamental ekonomi mereka sangat solid dan mandiri, tidak tergantung dari kebijakan moneter AS.

Ketiga negara tersebut berani mempertahankan suku bunga acuan rendah, karena fundamental ekonomi negara-negara tersebut tidak tergantung dari investor asing. Dengan demikian, jika terjadi sesuatu, mereka tidak mengambinghitamkan negara lain, yang tidak ada kaitannya dengan kondisi moneter dan fiskal negara mereka.

Baca juga :   Anwar Ibrahim, The Lion of Malays

Ketiga negara tersebut berani dan mampu mempertahankan suku bunga acuan lebih rendah dari suku bunga The Fed, karena fundamental ekonomi negara-negara tersebut sangat baik, dan tidak tergantung dari investor asing. Suku bunga acuan per Juni 2024: Indonesia 6,25 persen, Amerika Serikat 5,5 persen, Vietnam 4,5 persen, Malaysia 3 persen, dan Thailand 2,5 persen.

Sebaliknya, Bank Indonesia tidak mampu menurunkan suku bunga acuan karena faktanya fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah, dengan defisit transaksi berjalan dan defisit APBN yang terus meningkat, mengakibatkan ekonomi Indonesia tergantung dari utang luar negeri (investor asing). Hal ini mengakibatkan Bank Indonesia tersandera untuk menetapkan suku bunga acuan tinggi agar investor dan kreditur asing tidak kabur. (Bersambung)

Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Alumni Doktoral (S3) Erasmus University, Rotterdam, Belanda.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *