Rahmad: AHY Jangan Diskreditkan Presiden Joko Widodo

  • Bagikan
AJAK BERJIWA FAIR: Juru Bicara Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang, Muhammad Rahmad meminta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jangan mendiskreditkan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

INDOSatu.co – JAKARTA – Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menyeret-nyeret pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam pusaran konflik Partai Demokrat direspons serius Partai Demokrat KLB Deli Serdang.

Guna menghindari persepsi negatif terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo, Partai Demokrat KLB Deli Serdang berkewajiban menyampaikan sikap resmi terkait pernyataan AHY dari Amerika Serikat yang menyebut nama Kepala Staf Presiden atau KSP di dalam konflik internal Partai Demokrat itu.

“Pernyataan AHY tersebut adalah keliru dan tidak dapat dibenarkan,” kata Muhammad Rahmad, Juru Bicara Partai Demokrat KLB Deli Serdang dalam keterangan pers yang dikirim ke INDOSatu.co, Jumat (12/11).

Rahmad mengungkapkan, Kepala Staf Presiden atau KSP adalah nama jabatan dalam lembaga kepresidenan di bawah kendali Presiden, dan Kepala Staf Presiden itu diangkat oleh Presiden.

Dengan menyebut nama jabatan Kepala Staf Presiden, kata Rahmad, maka AHY telah menyeret Lembaga Kepresidenan ke dalam konflik Partai Demokrat yang dalam berbagai kesempatan, disebut pihak AHY sebagai pelaku kudeta dan begal Partai Demokrat.

Presiden Jokowi, ungkap Rahmad, menugaskan Moeldoko dalam jabatan sebagai Kepala Staf Presiden, karena kompetensi dan prestasi cemerlang yang dimiliki mantan Panglima TNI secara pribadi, dan itu tidak ada kaitannya dengan posisi Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang.

“Dan, Pak Moeldoko menerima jabatan Ketua Umum Partai Demokrat bukan atas kemauan sendiri, dan bukan pula atas perintah Bapak Presiden sebagai atasan. Tapi, itu atas permintaan kader-kader Partai Demokrat di Kongres Luar Biasa, di Deli Serdang,” kata Rahmad.

Baca juga :   Halal bihalal di PBNU, Prabowo Menilai NU Sekarang Jauh Berpikir ke Depan

Karena yang meminta kader Partai Demokrat, Moeldoko tidak kuasa menolak. Pria kelahiran Mojokerto itu menerima amanah sebagai Ketua Umum adalah atas nama pribadi, dan tidak ada kaitannya dengan jabatan beliau sebagai Kepala Staf Presiden.
Hal itu sama juga dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika SBY sebagai Presiden dua periode dari tahun 2004 sampai 2014. Pada saat yang bersamaan, SBY juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Waktu itu, kata Rahmad, secara tegas disampaikan SBY bahwa dirinya sebagai Presiden, dan tidak ada kaitannya dengan tugas SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Hal itu, ungkap Rahmad, sudah menjadi sebuah keyakinan mendasar bagi Partai Demokrat, terutama para kadernya.

Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasonna Laoly, kata Rahmad, berkali kali secara terbuka menyampaikan, bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak pernah terlibat dan tidak ada urusan dengan konflik internal Partai Demokrat, termasuk Lembaga Kepresidenan. Sebab, Lembaga Kepresidenan adalah di bawah kendali Presiden dan bagian dari pemerintah.

Sayangnya, penegasan pemerintah itu diabaikan oleh AHY. AHY dan kubunya terus menyebarkan narasi ke publik dan selalu menyeret Lembaga Kepresidenan di bawah kendali Presiden Joko Widodo ke dalam konflik internal Partai Demokrat. “Dan yang kami sesalkan, kali ini, AHY menyuarakannya dari Amerika Serikat. Kita tahu bahwa AHY menemani SBY ke Amerika Serikat untuk berobat yang dibiayai oleh negara di bawah kendali Presiden Joko Widodo,” tegas dia.

Baca juga :   Fadel Muhammad Buka Usulan Pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu

AHY, ungkap Rahmad, sepertinya ingin merusak citra dan mendiskreditkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Selain itu, AHY juga sepertinya memiliki target untuk merusak nama baik Lembaga Kepresidenan dengan menyeret nama Kepala Staf Presiden ke dalam konflik internal Partai Demokrat.

Bukan hanya itu. Kata Rahmad, AHY juga sepertinya ingin menyeret Lembaga Kepresidenan di bawah kendali Presiden Joko Widodo, seolah-olah terlibat dalam soal kudeta dan begal politik di tubuh Partai Demokrat seperti yang dikampanyekan selama ini.

AHY dan pengikutnya, kata Rahmad, mestinya seharusnya menjaga marwah dan nama baik Lembaga Kepresidenan yang pernah membesarkan nama SBY. Sudah seharusnya, AHY menjaga nama baik Presiden Joko Widodo. Dan, sudah seharusnya pula nama baik negara dijaga, apalagi pernyataan itu disampaikan AHY dari Amerika Serikat.

Jika KLB itu disebut AHY sebagai kudeta dan begal politik, bukankah itu terbalik dan mengarah ke SBY sendiri. Untuk diketahui, kata Rahmad, SBY mengambil alih dan menduduki kursi Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB di Bali tahun 2013.
Pembegalan itu berlanjut dengan memanipulasi AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 yang memasukan nama SBY menjadi pendiri Partai Demokrat, berdua dengan almarhum Ventje Rumangkang. Padahal, pendiri Partai Demokrat itu ada 99 orang, dan di dalam akte pendirian Partai Demokrat, nama SBY tidak termasuk sebagai pendiri.

Setelah Ventje Rumangkang meninggal dunia, ungkap Rahmad, seolah-olah pewaris utama Partai Demokrat tinggal satu orang, yaitu SBY.

Ketika maju menjadi calon Gubernur DKI, kata Rahmad, AHY yang berpangkat Mayor, diminta SBY untuk keluar dan berhenti sebagai prajurit TNI. Padahal, saat itu AHY bukan kader Partai Demokrat.

Baca juga :   Ketua DPD RI: Isra Mi'raj Momentum Mempersiapkan Diri Jelang Ramadan

AHY ternyata kalah telak di putaran pertama pemilihan Gubernur DKI. Ironisnya, kalah di Pilgub DKI, SBY malah mengangkat AHY menjadi Ketua Komando Satuan Tugas Bersama atau Kogasma Partai Demokrat, yang strukturnya tidak pernah ada dalam AD ART.

Ketika SBY menjadi Ketua Umum, dan AHY menjabat sebagai Ketua Kogasma, perolehan suara Partai Demokrat dalam Pemilu 2019 justru terjun bebas. Perolehan suara Partai Demokrat terendah sepanjang sejarah partai berlambang mercy ini berdiri.

Namun SBY tetap berusaha menaikkan kelas AHY menjadi Wakil Ketua Umum, tapi SK AHY sebagai Wakil Ketua Umum tidak pernah ditemukan di dalam Sipol KPU.

SBY kemudian menaikkan kelas AHY menjadi Ketua Umum yang menurut pengakuan beberapa pihak yang memiliki hak suara, pemilihan AHY sebagai Ketua Umum itu tidak melewati tata cara maupun tata krama sebagaimana layaknya penyelenggaraan Kongres Partai Demokrat.

AHY dengan kekuasaannya yang berlindung dibawah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020, telah membawa Partai Demokrat ke dalam tradisi tirani, oligarki, totaliter dan otokrasi. AHY menutup ruang perbedaan pendapat, memecat kader yang kurang sejalan, dan tradisi itu mirip mirip dengan gaya kepemimpinan ala diktator Hitler.

Karena itu, Rahmad mengimbau, AHY dan pengikutnya untuk berhenti mengelabuhi rakyat, berhenti memutar balikkan kenyataan. “Mari kita bersikap kesatria, gentlemen, sportif, dan jujur,” kata Rahmad. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *