INDOSatu.co – SURABAYA – Kasus penolakan sebagian warga Aceh terhadap ratusan pengungsi Rohingya saat hendak berlabuh dengan perahu kayu bisa memicu kekacauan dan mempertegas gesekan antara warga di masa depan. Pernyataan tersebut disampaikan Satria Unggul Wicaksana, Pakar Hukum Internasional Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya.
Belum lama ini, beberapa mahasiswa di Aceh melakukan aksi sepihak dengan pengusiran yang terhadap pengungsi Rohingya di Aceh Besar. Aksi tidak terpuji sebagian kecil mahasiswa itu mendapat kecaman dari berbagai kalangan dan dianggap tidak patut. Padahal, para pengungsi tersebut butuh perlindungan. Mereka berbulan-bulan terkatung-katung di lautan. Bahkan, tidak sedikit yang meninggal dunia karena kelaparan.
“Tentu, hal ini harus diketahui, apa perbedaan konsepsi antara pencari suaka (asylum seekers) dan Pengungsi (Refugees). Jika berkaitan dengan pencari suaka, maka negara memiliki otoritas penuh dalam menerima atau menolak orang yang tidak memiliki alasan mengapa mereka berhijrah dari negara asal ke negara tujuan,”ujar Satria kepada wartawan.
Satria menjelaskan, pengungsi (Refugees) adalah orang atau kelompok yang mengalami persekusi di negara asalnya atas nama ras, suku, etnis, dan budaya, sehingga tidak ada pilihan lain selain keluar dari negara asalnya. Hal tersebut diatur dalam Konvensi Jenewa 1951 tentang status pengungsi dan protocol tambahan 1967
Pada Pasal 33 Konvensi Jenewa 1951, ada prinsip non-refoulement, dimana semua negara, baik yang telah meratifikasi di Konvensi Jenewa 1951 ataupun tidak dapat menerima mereka yang masuk kategori sebagai refugee, termasuk dalam kasus Rohingy. Seharusnya mereka dapat diterima dan tanpa dipersekusi di Indonesia
“Indonesia memang tidak meratifikasi Konvesnsi Jenewa 1951, namun negara wajib melakukan screening siapa yang masuk dan layak menjadi refugee mendapat status screen in, dan siapa yang menjadi screen out. Bagi mereka yang screen in, mereka dilindungi dan dipenuhi hak-haknya oleh UNHCR, Lembaga internasional di bawah PBB yang menangani kasus pengungsi,” tegas Satria.
Selanjutnya, Satria menegaskan perlu ada upaya diplomatik Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Myanmar untuk memulangkan kembali mereka ke tempat asal, apabila stabilitias politik telah pulih dan hak-hak mereka dijamin untuk tidak dilanggar.
“Sehingga, peran serta pemerintah dan negara Indonesia menjadi sangat penting, termasuk mendorong ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan menaikkan peran dan komitmen tingginya untuk menyelesaikan polemik kasus Rohingya tersebut,” pungkas Satria. (*)