Moratorium Bisnis Seragam Siswa

  • Bagikan

TIAP tahun ajaran baru hampir selalu muncul masalah pengadaan seragam siswa. Banyak sekolah (SMP-SMA Negeri) mewajibkan siswanya membeli seragam di koperasi sekolah. Harganya jauh di atas harga pasar. Orang tua siswa protes.

Tahun ini (2023), kasus sekolah berbisnis seragam siswa sudah mencuat di beberapa kota. Antara lain, di SMA Negeri 1 Kedungwaru Tulungagung. Siswa baru diwajibkan membeli tiga jenis kain seragam dengan harga Rp 2,3 juta.  Kasus serupa juga terjadi di Mojokerto. Siswa baru diwajibkan membeli seragam Rp 2.055.000. (detik.com, 26 Juli 2023).

Patut diyakini, kasus komersialisasi seragam siswa terjadi di hampir semua sekolah. Tidak hanya di Tulungagung dan Mojokerto. Menurut seorang wali siswa di Bojonegoro, anaknya tahun ini masuk SMK Negeri, diwajibkan membeli seragam Rp 1,75 juta. Selain itu, diharuskan membeli pakaian olahraga Rp 180 ribu. ‘’Waktu masuk SMP dulu habis Rp 800 ribu untuk membeli seragam,’’ katanya.

Banyak wali siswa mengeluhkan mahalnya seragam yang dijual lewat koperasi sekolah. Wali murid yang mampu, mungkin tidak terlalu mempermasalahkan. Soale duite akeh. Tetapi, wali siswa yang kurang mampu secara ekonomi, tentu mereka keberatan. Mereka merasa dicekik oleh koperasi sekolah. ‘Koperasi sekolah’ berubah menjadi ‘Kuperasi anak sekolah’.

Gubernur Jawa Timur, Hj. Khofifah Indar Parawansa bertindak cepat merespons keberatan wali siswa. Melalui Dinas Pendidikan (Dispendik), Pemprov Jatim mengeluarkan Surat Edaran 420/48-49/101.1/2023 tentang moratorium penjualan seragam siswa. Selama moratorium, sekolah dilarang menjual seragam kepada siswa. Sampai ada keputusan mengenai standar satuan harga seragam SMA/SMK dan SLB Negeri se Jatim. (Jawa Pos, 28 Juli 2023). Selain memberlakukan moratorium, Pemprov juga menindak tegas, menonaktifkan kepala SMA Negeri Kedungwaru 1 Tulungagung.

Baca juga :   Ekspor Pasir, Jokowi Bisa Diancam Penjara Seumur Hidup

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, moratorium berarti penangguhan. Misal, penangguhan pembayaran utang. Atau, penundaan. (KBBI, hal. 755). Dengan adanya moratorium yang ditetapkan Pemprov, semua sekolah negeri (SMA, SMK, SLB) dilarang menjual seragam kepada siswa. Sekolah juga dilarang mewajibkan siswa membeli seragam di koperasi sekolah.

Sikap gubernur tersebut perlu dicontoh oleh para kepala daerah (bupati/walikota) di Jatim. Sangat mungkin, sekolah menengah pertama (SMP Negeri) di kabupaten/kota juga melakukan hal serupa. Artinya, sangat mungkin, banyak SMP Negeri berbisnis seragam sekolah. Koperasi sekolah sebenarnya tidak dilarang bisnis seragam atau lainnya. Tapi harganya itu lho ojo nekek siswa.

Pihak sekolah (guru ataupun tenaga kependidikan) hendaknya menyadari bahwa orang tua murid iku gak kabeh sugih (tidak semua kaya). Banyak wali siswa tergolong miskin. Uripe luwih soro (hidupnya lebih melarat) daripada Pak Guru. Mereka itu penerima raskin (beras untuk warga miskin), atau pun BLT (bantuan langsung tunai). Jika mereka ini harus menebus seragam Rp 2,3 juta, itu sama saja nabung BLT selama 10 bulan hanya untuk membeli seragam.

Baca juga :   Jawaban Terbuka kepada Hotman Paris Hutapea

Untuk saat ini, mestinya sudah tidak elok sekolah berbisnis seragam siswa dengan berorientasi ndolek bati akeh (cari untung besar). Apalagi di lingkungan sekolah negeri. Mengapa? Karena guru dan tenaga kependidikan umumnya sudah berstatus PNS/ASN. Mereka sudah digaji tetap oleh negara. Ada tunjangan sertifikasi, ada Tambahan Perbaikan Penghasilan (TPP), dan lain-lain. Guru zaman now bukan lagi seperti guru jaman biyen. Bukan lagi seperti lagu: Oemar Bakrie, naik sepeda onthel butut dengan pakaian lusuh.

Saya sangat berharap, kasus-kasus bisnis seragam di sekolah tidak terjadi lagi di tahun-tahun mendatang. Salah satu kuncinya, harus ada komunikasi dan pengawasan dari pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Misal Komite Sekolah. Ataupun Dewan Pendidikan. Atau dari wakil rakyat (DPRD) setempat.

Pihak sekolah harus mengfungsikan Komite Sekolah. Atau, dengan kata lain, Komite Sekolah juga harus proaktif. Setiap kebijakan sekolah, terutama yang berdampak kepada wali murid, dan bersifat nonakademis, harusnya ada pembicaraan dengan Komite. Komite kemudian berkomunikasi dengan Depan Pendidikan.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan, Komite ataupun Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri. Lembaga ini dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawan pendidikan. (Pasal 56). Komite Sekolah di lingkup sekolah, Dewan Pendididan di tingkat kabupaten/kota.

Harus diakui, dalam pelayanan pendidikan, pemerintah hingga kini belum mampu memenuhi amanat undang-undang. Khususnya, pelayanan pendidikan dasar (SD-SMP). Satu sisi, undang-undang mengamanatkan setiap warga wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya. Tapi realitas di lapangan, pemerintah belum dapat mencukupi sarana dan prasarana pendidikan. Terutama tingkat sekolah dasar. Banyak SD kekurangan guru. Terutama di daerah terpencil. Juga, belum mampu menggratiskan semua biaya pendidikan.

Baca juga :   Manuver Baru Jokowi, dari Ganjar Pindah ke Prabowo?

UUD 1945 setelah amandemen mengamanatkan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (Pasal 31 ayat 2).

Yang dimaksud pendidikan dasar adalah pendidikan di tingkat SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat. Wajib belajar merupakan program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara atas tanggung jawab pemerintah dan pemeirntah daerah. (PP Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar).

Nah, jangan ada kepala sekolah dan guru yang punya pikiran: ‘’siswa sekarang ini sudah sangat dimanjakan oleh negara. Sekolahnya gratis-tis.’’ Karena itu,  menurut pikiran mereka, siswa tidak masalah diwajibkan membeli seragam dengan harga spesial. ‘’Mosok pingin pinter kok gak gelem bondho blass (Masak pengin pinter tidak mau keluar biaya sama sekali),’’ pikir mereka.

Jangan ada guru, kepala sekolah, Komite Sekolah, dan Dewan Pendidikan yang punya pikiran seperti itu. Bagaimana pendapat Anda?

Mundzar Fahman;
Penulis adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (Unugiri) Bojonegoro.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *