INDOSatu.co – JAKARTA – Berhembus kabar, Pertamina bakal berganti komando. Isu terkini, yakni pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero) menggantikan Direktur Utama Nicke Widyawati. Wacana itu tentu menarik perhatian publik.
Isu tersebut muncul setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memanggil Ahok dan Nicke Widyawati untuk membahas posisi tersebut. Dalam evaluasi kinerjanya sebagai komisaris utama Pertamina, Ahok justru tidak mendapatkan sorotan positif.
”Banyak aspek kinerja Pertamina yang mengecewakan, termasuk kecelakaan yang sering terjadi dan kinerja keuangan yang terus merosot,” kata Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute, Selasa (25/7).
Kritik ini, kata Nur Hidayat, menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan Ahok dalam memimpin perusahaan minyak berpelat merah yang sangat strategis. Selain itu, keputusan untuk mengangkat Ahok sebagai Dirut Pertamina juga memunculkan dampak ekonomi politik di tanah air.
”Ahok memiliki rekam jejak pemarah, temperamental, dan sering kali tidak menjaga lisan,” kata Nur Hidayat.
Hal ini menciptakan ketidakstabilan dan kontroversi, yang pada gilirannya dapat menjadi beban berat bagi citra Presiden Jokowi. Dalam situasi ini, hendaknya dalam pemilihan eksekutif tertinggi Pertamina harus lebih hati-hati, Pemerintah harus mempertimbangkan sosok yang mampu menjaga integritas dan kinerja Pertamina.
Menurut Nur Hidayat, ada empat pertimbangan memilih Dirut Pertamina yang mampu meningkatkan citra dan kinerja Pertamina masa depan, diantaranya adalah masalah transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah dan BUMN perlu menjelaskan secara terbuka penyebab utama merosotnya kinerja dan banyaknya kecelakaan kerja pada Grup Pertamina.
”Termasuk menjelaskan kualifikasi dan alasan pemilihan Ahok sebagai Dirut Pertamina. Proses seleksi harus transparan dan tidak menciptakan kontroversi di kalangan masyarakat,” kata dia.
Yang kedua, kata Nur Hidayat, terkait dengan penguatan etika dan kepemimpinan. Pertamina harus fokus pada penguatan etika dan kepemimpinan di seluruh tingkatan. ”Sosok yang diangkat sebagai eksekutif tertinggi harus memiliki reputasi etika, santun, dan bersih, serta kemampuan untuk menciptakan kolaborasi yang positif,” beber Nur Hidayat.
Ketiga, ungkap dia, yang terkait dengan evaluasi kinerja. Sebagai perusahaan BUMN, Pertamina harus secara berkala mengevaluasi kinerja dan kesesuaian pemimpinnya dengan tujuan strategis perusahaan. ”Memilih pemilihan pemimpin harus berdasarkan kompetensi dan prestasi yang terukur bukan sekedar sahabat baik oligarki dan leadership RI,” beber Nur Hidayat.
Dan yang terakhir , kata Nur Hidayat, adalah masalah keterbukaan dalam pengambilan keputusan. Pemerintah dan BUMN perlu lebih terbuka dalam melibatkan publik dan pihak-pihak terkait dalam proses pengambilan keputusan yang penting seperti ini.
”Seringkali Erick Thohir gagal membangun alasan ilmiah dan logis dari pemilihan para relawan sebagai petinggi BUMN,” jelas Nur Hidayat.
Situasi pengangkatan Ahok sebagai Dirut Pertamina menciptakan perbincangan yang serius dan memunculkan keprihatinan dari kalangan akademisi dan publik. Transparansi, etika, dan fokus pada kinerja harus menjadi prioritas untuk menghindari konsekuensi negatif dalam kepemimpinan perusahaan BUMN yang sangat vital bagi bangsa. (adi/red)