INDOSatu.co – JAKARTA – Dihadapan Ikatan Doktor Ilmu Manajemen (IKADIM) Universitas Negeri Jakarta, Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA (HNW) mengajak para pakar dan kaum terpelajar untuk menguatkan komitmen meneladani kenegarawana para Bapak Bangsa, dan mengingatkan, bahwa salah satu tugas MPR adalah menyampaikan keteladanan itu melalui Sosialisasi Empat Pilar MPR RI kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk kepada komunitas IKADIM.
Tetapi, sosialisasi yang disampaikan kepada IKADIM tentu bukan untuk menggarami air laut, maupun mengajari ikan berenang. Sosialisai kepada IKADIM terkandung maksud menyegarkan ingatan dan menguatkan komitmen menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara, dasar dan ideologi negara, serta konstitusi, agar dapat melanjutkan keteladanan para Bapak dan Ibu Bangsa.
Apalagi, hari ini, Jumat 9 Ramadan 1444 Hijriyah, merupakan hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari ini, 78 tahun yang lalu, adalah hari dan tanggal dimana proklamasi kemerdekaan Indonesia digaungkan. Tanggal 17 Agustus tahun 1945, waktu itu bertepatan dengan hari ini, Jumat tanggal 9 Ramadan tahun 1364 Hijriyah.
“Artinya, boleh jadi saat ini kita juga sedang merayakan kemerdekaan Indonesia ke-80 dalam hitungan kalender Hijriyah. Dan kita patut mensyukuri karunia kemerdekaan yang telah Allah hadirkan, sambil terus melakukan instrospeksi apa saja yang sudah kita syukuri dan kita capai selama ini,” kata anggota DPR RI dari PKS dari DKI Jakarta II ini.
Pernyataan itu disampaikan HNW pada acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dan Bedah Buku “MSDM Dalam Prespektif Islam”, karya tulis Ikatan Doktor Ilmu Manajemen. Acara tersebut berlangsung di Ruang Abdul Muis Gedung Nusantara Komplek DPR/MPR, Jumat (31/3). Tampak hadir pada acara tersebut, Wakil Ketua MPR Dr. Jazilul Fawaid SQ, MA., Presidium IKADIM yang juga Anggota Fraksi PKS MPR RI Dr. Jazuli Juwaini MA., serta jajaran pengurus IKADIM dan Universitas Negeri Jakarta.
Adanya dua sistem penanggalan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia, menurut Hidayat menjadi bukti suburnya kebhinekaan bangsa Indonesia. Yaitu kebhinekaan yang Tunggal Ika. Dan itu sudah terjadi sejak lama, bahkan sebelum lahirnya bangsa Indonesia merdeka.
“Kompromi tentang Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa Indonesia disepakati pada 22 Juni 1945. Tetapi pada 17 Agustus sore, masuklah berbagai aspirasi dan keberatan. Yang menarik keberatan itu bukan menjadi pembelah bangsa. Berbeda dengan kenyataan saat sekarang, di mana perbedaan memunculkan istilah kadrun, kampret dan seterusnya. Padahal, para bapak dan ibu bangsa sudah memberikan keteladanan dalam mensikapi perbedaan, dan kemampuan membuat solusi dan kompromi untuk kemaslahatan bangsa dan negara”ungkap alumni Ponpes Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini.
Pidato tentang Pancasila sebagai dasar dan Ideologi negara pada sidang BPUPK 31 Mei-1 Juni 1945, kata anggota Komisi VIII DPR RI ini, melahirkan dua poros ideologi besar, yaitu kebangsaan dan keagamaan Islam. Tetapi, keduanya bukan saling membelah dan memisahkan. Baik poros ideologi nasionalis kebangsaan maupun nasionalis religius berupaya menemukan kompromi, agar kebhinnekaan itu menghadirkan ketunggal ikaan.
Selanjutnya, kata HNW, dibentuklah panitia kecil terdiri dari 8 orang. Pada 1 Juni, sesudah menyampaikan pidato tentang Pancasila, serta untuk merumuskan kesepakatan. Oleh Bung Karno, keanggotaan panitia kecil itu diubah dengan alasan tidak seimbang. Karena dari 8 anggota panitia kecil 6 diantaranya merupakan anggota poros ideologi kebangsaan, dan hanya dua orang dari keagamaan.
“Bung Karno memperlihatkan kenegarawanannya, mengubah panitia delapan menjadi panitia Sembilan dengan mengakomodir semua kelompok. Ada empat orang poros ideologi kebangsaan. Yaitu, Soekarno, Hatta, Moh. Yamin dan A. Soebardjo, serta satu kelompok kebangsaan Nasrani AA. Maramis. Lalu empat orang dari kelompok kebangsaan Islam, terdiri dari dua ormas Islam, KH. Wahid Hasyim (NU) dan KH Kahar Muzakir (Muhammadiyah) serta 2 dari partai Islam H. Abikoesno Tjokrosoejoso dan H. Agus Salim. Kelompok Sembilan menghasilkan kompromi tentang Pancasila pada 22 Juni, dan dikenal sebagai Piagam Jakarta,” ungkap HNW.
Ternyata, hasil kompromi Pancasila 22 Juni, itu diprotes oleh masyarakat Indonesia Timur. Dan sesuai prinsip kenegarawanan yang mengedepankan maslahat terbesar, keberatan tersebut diterima, sehingga lahir kesepakatan final Pancasila 18 Agustus. Sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Inilah hikmah besar yang harus dipelajari dan diteladani dari para pendiri bangsa, terutama oleh kalangan terpelajar seperti IKADIM. Dan oleh MPR, maka dilahirkanlah Empat Pilar MPR RI. Dengan demikian, pemahaman terhadap 4 pilar MPR RI selain mensejarah, juga untuk melanjutkan keteladanan serta untuk mengawal dan mengawasi perjalanan bangsa. Agar bila ada yang menyimpang bisa diluruskan. Dan bila ada masalah, juga bisa dicarikan solusinya. Selain itu, juga agar mampu menjawab tantangan dan peluang zaman tanpa kehilangan jatidiri sebagai Bangsa dan Negara Indonesia. Sehingga, cita-cita proklamasi dan reformasi selalu dapat diperjuangkan dan diwujudkan” pungkas Wakil Ketua Dewan Syura PKS ini. (adi/red)