Fadel Muhammad Buka Usulan Pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu

  • Bagikan
DEMI PERBAIKAN: Wakil Ketua MPR RI, Fadel Muhammad, saat memberi keterangan pers kepada wartawan di Ruang Rapat Pimpinan MPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/3).

INDOSatu.co – JAKARTA – Disaat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam sorotan publik, Wakil Ketua MPR RI, Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad membuka wacana atau usulan pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Usulan tersebut dilontarkan karena DJP yang memiliki beban pekerjaan besar, sudah saatnya dan layak naik kelas.

Dasar pemikiran pemisahan tersebut, salah satunya muncul fenomena dunia perpajakan nasional yang sedang mendapat cobaan serius yakni, terungkapnya kasus sejumlah aparatur negara bidang perpajakan yang menimbun kekayaan tidak wajar, sehingga menimbulkan kecurigaan adanya malapraktik dalam sistem perpajakan. Seperti, terbukanya kasus seorang pegawai di Kanwil DJP Jaksel, yang merembet ke sejumlah pejabat lain.

Yang lebih mengejutkan, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut bahwa ada transaksi janggal senilai Rp 300 triliun di Kemenkeu. Transaksi itu melibatkan lebih dari 460 pegawainya dalam periode 2009-2023 dan sebagian besar dilakukan oleh pegawai DJP.

“Kita akan tunggu kelanjutan penelusuran transaksi mencurigakan dengan nilai yang fantastis itu,” kata Fadel Muhammad, saat memberi keterangan persnya kepada wartawan, di Ruang Rapat Pimpinan MPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/3).

Baca juga :   Kesetaraan Gender Perlu Direalisasikan, untuk Wujudkan Pembangunan yang Lebih Baik

Yang mengkhawatirkan, beber Fadel, akibat kasus-kasus tersebut, munculnya imbauan yang diamini masyarakat agar tidak membayar pajak. Hal itu jelas sangat membayakan bagi pendapatan negara.  Imbauan itu muncul, karena mereka merasa bahwa pajak yang dibayarkan rakyat digunakan hanya untuk memperkaya oknum­ oknum DJP.

”Imbauan itu harus segera diredam melalui perbaikan di Kemenkeu agar kepercayaan publik pada Kemenkeu, khususnya DJP, kembali meningkat,” tambah dia.

Pertanyaan besarnya, lanjut Fadel, mengapa bisa terjadi hal seperti itu. Apakah hirarki organisasi di Kemenkeu yang menyangkut DJP kurang ideal? Perlu kah DJP dipisahkan dari Kemenkeu karena DJP memiliki beban pekerjaan yang besar, sehingga pantas naik kelas menjadi lembaga setingkat menteri? Ini tentu butuh pemikiran yang mendalam.

Senator Dapil Provinsi Gorontalo ini mengungkapkan, dulu pernah terlontar adanya wacana agar DJP dipisahkan dari Kemenkeu, dengan membentuk otoritas pengelola pajak independen yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.

“Saya sempat mempraktikkan ide pemisahan itu dalam skala kecil ketika menjadi Gubernur Provinsi Gorontalo (2001-2009), dengan menarik biro keuangan yang semula berada di Sektretaris Daerah (Sekda) menjadi lembaga otonom yang bertanggung jawab langsung kepada gubernur dengan nama Badan Keuangan Daerah,” paparnya.

Baca juga :   Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid: Warga Lamongan Punya Etos Kerja dan Perantau Hebat

“Tentu tidak apple to apple membandingkannya dengan DJP. Saya cuma terinspirasi ketika pada periode 2014-2015 terpilih menjadi Ketua Komisi XI DPR RI. Pada saat itu, saya termasuk yang ikut mendorong agar DJP dipisahkan dari Kemenkeu, membentuk lembaga baru yang bernama Badan Keuangan Negara yang bertugas untuk menghimpun pajak sebagai pengganti atau perubahan nama dari DJP. Badan ini berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden,” terang dia.

Pemerintah, lanjut Fadel, sebenarnya sudah berinisiatif membuat draf RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan (RUU KUP) pada tahun 2015. Di Pasal 95, disebutkan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disebutkan juga bahwa lembaga tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Namun, sampai berakhirnya masa jabatan DPR RI periode 2014-2019, pembahasan tersebut tidak tuntas. Pada DPR RI periode berikutnya (2019-2024), pemerintah mengajukan RUU KUP dengan draf baru pada Mei 2021. Akan tetapi tidak menyebutkan mengenai posisi DJP menjadi lembaga di bawah Presiden. “Saya tidak tahu apa alasannya,” ujarnya.

Baca juga :   Buka Raker dan Pelantikan PC/PAC Fatayat NU, Yandri Susanto: Rapatkan Barisan, Jawab Tantangan ke Depan

Fadel menilai, inilah saatnya negara kembali serius memikirkan untuk memisahkan DJP dari Kemenkeu. Dulu banyak ahli yang mendorong agar DJP dipisah dari Kemenkeu agar ada lembaga setingkat menteri yang fokus menangani pajak. Apalagi penerimaan pajak Indonesia saat ini mencapai lebih dari 75 persen dari pendapatan negara. Pada APBN 2023, dianggarkan penerimaan negara akan mencapai sebesar Rp 2.463 triliun dengan pendapatan dari pajak sebesar Rp 2.021,2 triliun atau sekitar 82 persen.

Memang pemisahan DJP dari Kemenkeu membutuhkan kajian mendalam menyangkut berbagai hal. Apakah DJP yang terpisah dari Kemenkeu itu berupa Badan Keuangan Negara yang bersifat otonom atau semi-otonom. Kalau mengacu pada janji Joko Widodo sebelum menjadi Presiden, salah satunya adalah akan membuat DJP menjadi lembaga otonom lepas dari Kemenkeu dan langsung berada di bawah Presiden. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *