KPK Dapat Menangkap Rafael

  • Bagikan

KETETAPAN MPR Nomor XI Tahun 1998 melahirkan dua undang-undang: yakni UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara (PN) yang bebas dari KKN dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 28 Tahun 1999 melahirkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). UU No 31 Tahun 1999 melahirkan UU Nomor 30 Tahun 2002. UU inilah yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pernah suatu waktu, KPKPN menemukan keganjilan kepemilikan rumah Megawati. Saat itu, beliau masih menjadi Presiden. Senayan (Gedung DPR/MPR, Red) dan PDIP geger. Apalagi, saat itu bola liar bergelinding sewaktu pembahasan RUU KPK. Buntutnya, KPKPN dibubarkan. Lembaga itu dianggap anak macan yang akan menerkam induknya. Sebab, hanya dalam waktu singkat, KPKPN melaporkan puluhan Penyelenggara Negara (PN) ke Mabes Polri yang diduga korupsi. KPKPN setelah dibubarkan DPR dan Megawati, dijadikan salah satu direktorat di KPK.

KPK selama belasan tahun, boleh dibilang, tidak ada Penyelenggara Negara yang dipidanakan berdasarkan temuan dalam LHKPN. Padahal, laporan kekayaan Rafael Alun Trisambodo (RAT) dalam LHKPN pada 2022, tercatat Rp 56,1 miliar. Suatu angka fantastis. Jika digunakan cara KPKPN, Rafael dapat ditangkap KPK. Maknanya, KPK gagal melaksanakan tugasnya di bidang pencegahan korupsi melalui pemeriksaan LHKPN.

Fungsi dan Manfaat LHKPN

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) adalah salah satu dokumen negara. Ia berisi laporan kekayaan seorang Penyelenggara Negara. Kekayaan yang dilaporkan meliputi harta bergerak, kekayaan tidak bergerak, simpanan uang di bank dan saham.

Harta yang dilaporkan dalam LHKPN meliputi kepunyaan Penyelenggara Negara dan pasangan serta kepunyaan anak yang masih dalam tanggungan orang tua. LHKPN dilaporkan sebelum, selama, dan sesudah seseorang menjadi Penyelenggara Negara. Namun, jika ada perubahan kekayaan secara signifikan, meski baru beberapa bulan menjabat, ia harus dilaporkan.  Perubahan kekayaan yang signifikan itu misalnya, baru beberapa bulan dilantik, dia mendapat warisan. Ia bisa berupa bangunan, tanah, uang tunai atau saham. Perolehan kekayaan yang baru tersebut harus dilaporkan. Sebaliknya, Penyelenggara Negara menjual rumah, tanah, atau mobil miliknya, itu pun juga harus dilaporkan dalam LHKPN Perubahan.

Baca juga :   Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita

Berdasarkan ketentuan tersebut, Rafael mestinya juga harus melaporkan mobil dan motor yang biasa digunakan David, anaknya. Jika dikatakan, mobil dan motor tersebut milik abangnya, maka kepemilikan harta tesebut, bermasalah. Di sinilah kesalahan yang dilakukan KPK di mana dikatakan, cukup sulit memeriksa kekayaan Rafael.

Sejatinya, dalam pelaporan kekayaan seorang Penyelenggara Negara, tidak melarang mereka untuk kaya. LHKPN tersebut dimaksudkan agar negara melalui KPK mengetahui, bagaimana cara memeroleh dan menggunakan kekayaan yang dipunyai. Jika dalam proses mendapatkan dan menggunakan kekayaan ada ketidak-wajaran, maka KPK bisa melakukan proses tindak lanjut. Ia bisa berupa tindakan pencegahan maupun penindakan. KPK dengan cara ini dapat menyelamatkan keuangan/perekonomian negara agar rakyat jelata tidak semakin menderita. Sebab, wajib pajak “diperas” oleh Sri Mulyani, tapi uang-uang tersebut “dicuri” anak buahnya.

KPK Segera Tangkap Rafael

Andaikan tidak ada kasus penganiayaan David oleh Mario, maka KPK dan masyarakat tidak tahu, ada 13 ribu anak buah Sri Mulyani yang belum melaporkan LHKPN.  Apalagi, LHKPN Rafael Alun Trisambodo (RAT) yang kontroversial. Bahkan, banyak pejabat Kemenkeu yang punya kekayaan fantastis. Belum lagi “money laundry” di kalangan Kemenkeu yang dilaporkan PPATK.

Mereka yang wajib lapor kekayaannya hanya yang berstatus Penyelenggara Negara. Hal ini ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999. Namun, berdasarkan PP Nomor 94 Tahun 2021, setiap PNS wajib lapor kekayaannya.

Dalam LHKPN 2021, kekayaan Rafael Alun Trisambodo ((RAT) Rp 56,1 miliar. PPATK menginformasikan bahwa RAT pada 2019-2023, terjadi mutasi Rp 500 miliar dari 40 rekening miliknya, isteri dan anaknya. Belum lagi informasi PPATK, adanya potensi pencucian uang sebesar Rp 300 triliun rupiah di kalangan 467 pegawai pajak sejak 2009 sampai dengan 2023.

Saya, sebagai Ketua Subkomisi Legislatif KPKPN, hanya dalam waktu tiga tahun dapat melaporkan sepuluh anggota legislatif ke Mabes Polri. Sebab, KPKPN hanya lembaga pencegahan korupsi melalui pelaporan harta kekayaan Penyelenggara Negara. Jika ditemukan ada dugaan korupsi dalam perolehan harta kekayaan Penyelenggara Negara, maka harus dilaporkan ke Mabes Polri untuk ditindak-lanjuti secara pidana. Anehnya, selama belasan tahun, boleh dibilang KPK tidak tangkap Penyelenggara Negara berdasarkan telaahan LHKPN.

Baca juga :   Perampok Nikel Mandiodo: Siapa Beking Windu Ajie Sutanto, Mantan Relawan Jokowi 2014?

Metode yang digunakan KPKPN, ada empat tahap. Pertama, dilakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen LHKPN. Penyelenggara Negara biasanya sulit melengkapi dokumen, khususnya sertifikat tanah dan bangunan. Jika Penyelenggara Negara melaporkan rumah atau tanah miliknya dalam LHKPN, dia biasanya punya dokumen. Tugas anggota KPKPN, mengusut kesahihan dokumen tersebut. Mungkin saja dia memerolehnya secara ilegal. Anggota KPKPN melakukan pengecekan ke BPN terkait. Di sini akan diperoleh data, rumah atau tanah yang dipunyai, legal atau tidak.

Tahap kedua, jika informasi BPN, sertifikat rumah atau tanahnya legal, anggota KPKPN akan mengusut. Apakah total gaji yang diperoleh PN berbanding lurus dengan harga rumah atau tanah yang dimiliki. Jika jumlah penghasilan legal, dikurangi pengeluaran rutin, apakah tabungan yang dimiliki berbanding lurus dengan nilai rumah dan tanah yang dimiliki. Jika tidak, diduga, yang bersangkutan melakukan KKN.

Penyimpangan tersebut bisa dalam bentuk pemerasan, yakni dia menguras pelanggannya. Bisa juga menerima hadiah dari pelanggannya. Bahkan, penyimpangan itu bisa berupa manipulasi data.

Tahap ketiga, anggota KPKPN turun ke lapangan. Mereka memeriksa langsung keadaan fisik bangunan atau tanah yang dimiliki Penyelenggara Negara. Saya punya pengalaman ketika memeriksa lokasi tanah dan bangunan milik Ketua DPRD Provinsi di pulau Sumatera. Tiba di lokasi, saya menemukan beberapa data baru.  Ada studio radio milik Ketua DPRD. Ada kegiatan bisnis berupa iklan berbayar di radio tersebut. Ditemukan pula, ada tambak ikan yang cukup luas. Semuanya tidak dilaporkan dalam LHKPN.

Lain halnya dengan anggota DPRD di pulau Bali. Saya menemukan di lokasi ada kandang babi yang jumlahnya cukup banyak. Ternak ini tidak dilaporkan dalam LHKPN. Padahal, nilainya cukup tinggi, puluhan juta rupiah. Belum lagi biaya pemeliharaan. Semua fakta itu akan memengaruhi jumlah pemasukan, pengeluaran dan total kekayaan seorang Penyelenggara Negara.

Baca juga :   Teror Kobra di Banten adalah Serangan terhadap Demokrasi

Saya juga menemukan di Sulawesi, ada beberapa hektare tanah yang ditanami pohon kelapa. Tanaman kelapa ini secara rutin mendatangkan penghasilan signifikan karena menjual kelapa muda, kelapa tua, dan kopra. Hasil dari pohon kelapa tersebut, tidak dilaporkan dalam LHKPN. Dapat pula informasi masyarakat. Mereka adalah tetangga, baik di rumah tempat tinggal Penyelenggara Negara maupun di lokasi tanah, kebun, atau sawah miliknya. Ada yang mengatakan, tanah, kebun atau sawah tersebut dibeli setelah pemiliknya menjadi penyelenggara negara, baik sebagai anggota legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Ada pula warga yang mengatakan, rumah atau tanah yang ditempati, bukan milik mereka. Ia milik PN terkait. Bahkan, ada yang bilang, di antara mereka bersaudara, PN itulah yang kaya. Mereka saling tuding dan saling klaim.

Penah juga saya mendatangi rumah anggota legislatif. Mereka tidak melaporkan perabot rumahnya. Padahal, kursi tamu mewah yang dimiliki, nilainya puluhan juta rupiah. Sebab, bahannya kayu jati dan dipesan langsung dari Jepara. Maknanya, dengan mendatangi lokasi dan mewawancarai warga yang mengenali Penylenggara Negara, dapat diketahui adanya dugaan KKN oleh pejabat negara terkait.

Tahap keempat, klarifiksi sekali lagi dengan Penyelenggara Negara terkait. Biasanya, mereka tidak bisa membuktikan, seluruh hartanya diperoleh dari gajinya. Berdasarkan empat tahap itulah, saya melaporkan sepuluh anggota DPR dan MPR ke Mabes Polri. Padahal, saya dan anggota KPKPN lainnya melakukan penelusuran kekayaan Penyelenggara Negara secara konvensional.

KPK punya pelbagai kewenangan, termasuk penyadapan. Dengan demikian, KPK akan lebih mudah menemukan dugaan korupsi yang dilakukan seorang Penyelenggara Negara. Jika Direktorat LHKPN, KPK menggunakan empat tahapan yang saya lakukan selama di KPKPN, insya Allah, Rafael dan puluhan, bahkan ratusan pegawai Kemenkeu bisa dimasukkan ke dalam penjara. Semoga!!!

Abdullah Hehamahua;
Penulis adalah adalah Ketua Umum PB HMI 1978-1981, Pegiat Anti Korupsi, tinggal di Depok, Jawa Barat.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *