Sultan Minta Pemerintah Tidak Ikuti Langkah Malaysia Hentikan Ekspor CPO ke Eropa

  • Bagikan
SAMBUT BAIK: Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin, selain parliament threshold, presidential threshold dinilai tidak lagi sesuai dengan semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah mufakat.

INDOSatu.co – JAKARTA – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan B. Najamudin meminta Pemerintah untuk tidak mengikuti kebijakan pemerintah Kerajaan Malaysia yang mengancam hendak menghentikan ekspor Crude Palm Oil (CPO) ke kawasan Eropa.

Pernyataan tersebut disampaikan Sultan untuk menjaga agar harga tandan buah segar sawit tidak mengalami penurunan dan merugikan para petani. Di sisi lain, kebijakan Uni Eropa yang terbuka tersebut akan dimanfaatkan oleh negara produsen CPO potensial lainnya seperti India untuk mengambil pasar Eropa.

“Saya kira Pemerintah tidak perlu melakukan keputusan dagang yang justru merugikan posisi Indonesia sebagai produsen sawit dan CPO nomor satu di dunia saat ini. Kecuali jika kita sudah mendapatkan pasar ekspor potensial di kawasan lainnya di dunia,’’ ujar Sultan melalui keterangan resminya, Ahad (15/1).

Baca juga :   Sampaikan Aspirasi ke Ketua DPD RI, Aliansi Rakyat Menggugat: Negara Dikuasai Oligarki

Mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu menilai, meski CPO banyak digunakan oleh konsumen untuk bermacam kebutuhan, tapi peran CPO masih bisa disubstitusi oleh minyak nabati lainnya yang bersumber dari tanaman selain sawit. Sehingga, untuk menjaga reputasi CPO sebagai minyak nabati terpopuler saat ini dengan menerima standar produksi yang disyaratkan oleh Eropa.

“UU baru Eropa itu justru bagus bagi Pemerintah untuk menunjukkan komitmen dan tanggung jawab terhadap perlindungan lingkungan hutan. Dengan demikian, aksi ekstensifikasi korporasi sawit bisa dikontrol dan perkebunan sawit milik rakyat dapat dihargai khusus oleh Eropa,’’  tegas Sultan.

Baca juga :   Puji LaNyalla, Din: Akar Masalah Bangsa, Kediktatoran Konstitusi

Di sisi lain, kata Sultan, perkebunan Kelapa sawit milik rakyat dinilai mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Eropa. Pemerintah diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan tersebut dengan membatasi ekspor CPO ke Eropa dan meningkatkan porsi penggunaan CPO dalam kebijakan B40.

“Sebab hingga tahun 2020, hanya terdapat perkebunan kelapa sawit seluas kurang lebih 2,90 juta ha yang berada dalam kawasan hutan, tetapi tanpa izin bidang kehutanan, dan belum teridentifikasi subjek hukumnya. Sementara total luas lahan sawit 16,38 juta hektare, dan luas lahan sawit rakyat mencapai 6,94 juta hektare”, urainya.

Baca juga :   Sultan Puji Keberanian Moral Prabowo Dorong Proposal Perdamaian Rusia-Ukraina

Artinya, lanjut Sultan, hanya terdapat sekitar 17 hingga 20 persen lahan sawit dari Indonesia yang berpotensi tidak memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh Eropa.

Seperti diketahui, Malaysia pada Kamis (12/1) mengancam akan menghentikan ekspor CPO ke Uni Eropa (UE) sebagai bentuk protes diskriminasi kawasan tersebut terhadap komoditas CPO.

Undang-Undang (UU) Uni Eropa yang baru akan mengatur pembelian/penjualan CPO secara ketat sebagai upaya untuk melindungi hutan.

Selama ini, Indonesia dan Malaysia memasok 85 persen CPO di dunia. Kebijakan kedua negara tersebut di sektor CPO akan sangat menentukan harga CPO di pasar global. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *