Tolak Proporsional Tertutup, HNW: Sistem Pemilu Terbuka Sesuai Konstitusi dan Putusan MK

  • Bagikan
JANGAN SAMPAI ABAI: Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid mengingatkan agar tidak ada pihak yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang dengan jelas dan tegas termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, hal itu sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya.

INDOSatu.co – JAKARTA – Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mengkritisi wacana dan pengusulan agar Pemilu legislatif kembali diselenggarakan dengan sistem proporsional tertutup.

Mantan Presiden PKS itu juga mengingatkan agar tidak ada pengabaian prinsip kedaulatan rakyat yang dengan jelas dan tegas termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, hal itu sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya.

HNW, sapaan akrabnya, juga menyampaikan mestinya saat-saat ini semua pihak fokus membantu Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempersiapkan Pemilu 2024, agar hasilnya lebih baik dan lebih berkualitas dari pemilu-pemilu sebelumnya.

“Jangan malah KPU dan rakyat disibukkan juga dengan wacana atau polemik uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah bakal calon legislatif (bacaleg) yang menginginkan agar Pemilu 2024 dilaksanakan dengan sistem tertutup,” ujar HNW dalam keterangannya, Sabtu (31/12).

Baca juga :   Kuliah Umum di Seskoal, Ketua MPR RI Ingatkan Ancaman Geopolitik Global

Dengan sistem proporsional tertutup tersebut, kata HNW, artinya pemilu hanya dilaksanakan untuk memilih partai politik peserta pemilu, sementara rakyat yang oleh konstitusi dinyatakan sebagai pemilik kedaulatan, tidak memilih nama caleg yang disukainya, tapi bak ‘memilih kucing dalam karung’, karena tidak memilih nama calon anggota legislatif yang dikenal atau dikehendaki untuk mewakilinya di lembaga parlemen di tingkat nasional maupun daerah.

“Karena dengan sistem pemilu tertutup itu, penentuan caleg yang terpilih untuk menjadi anggota legislatif diserahkan kepada partai politik, yang sebagiannya belum melakukan transparansi dan kaderisasi yang baik untuk hadirkan kader-kader partai yang berkualitas sebagai wakil rakyat sesuai harapan rakyat,” ungkapnya.

Maka, lanjut HNW, sewajarnya permohonan judicial review untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup ini tidak dikabulkan oleh MK, selain tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur oleh UUD NRI 1945, juga agar MK konsisten dengan putusan yang sebelumnya dibuat oleh MK sendiri yaitu mengubah dari sistim proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka.

Baca juga :   Gus Imin Optimistis Masyarakat Bali Dukung Perubahan, Siap Menangkan Paslon AMIN

“Apalagi sistem proporsional terbuka yang akan diberlakukan dalam pemilu sekarang dan yang sudah diberlakukan pada pemilu pada 2009, 2014 dan 2019 sudah proporsional sesuai ketentuan konstitusi, yakni rakyat sesuai ketentuan UUD NRI 1945 diberi hak bebas memilih nama-nama caleg untuk menjadi wakilnya di parlemen, atau memilih (gambar) partai yang oleh konstitusi memang dinyatakan sebagai peserta pemilu,” ujarnya.

HNW menuturkan bahwa sejatinya pandangannya ini sejalan dengan putusan MK sebelumnya, yakni putusan Nomor 22—24/ PUU-VI/ 2008 yang diputuskan menjelang Pemilu 2009.

“Putusan ini yang menjadi salah satu acuan bagi pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan Pemerintah, untuk menerapkan sistem pemilu terbuka pada pemilu-pemilu berikutnya,” jelasnya.

Baca juga :   Soal Pencegahan Penyakit Langka di Tanah Air, Lestari: Deteksi Dini Harus Ditingkatkan 

Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa meski amar putusan tersebut bukan secara spesifik berbicara mengenai sistem pemilu terbuka atau tertutup, tetapi dalam pertimbangannya MK secara tegas mengarahkan kepada sistem pemilu terbuka karena sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

“Pertimbangan-pertimbangan itu merupakan ‘ratio decidendi’ (pertimbangan yang mendasari amar putusan), yang sifatnya sama mengikatnya dengan amar putusan,” jelas HNW.

Lebih lanjut, HNW menguraikan MK menafsirkan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilu, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya.

“Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan,” jelas HNW mengutip putusan MK tersebut. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *