INDOSatu.co – BANDUNG – Para pendiri bangsa Indonesia telah meletakkan arah pendidikan nasional secara distingtif dalam konstitusi. Misalnya pada Pasal 31 UUD 1945 ayat 3 dan 5 serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari nilai agama, nilai kebudayaan, serta iman, takwa, dan akhlak mulia.
”Karena, dengan usaha yang minimal tanpa strategi kebudayaan yang matang, juga hanya akan melahirkan lag atau kegagapan,” kata Haedar yang baru terpilih kembali sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta, Jawa Tengah, itu.
Misalnya dalam konteks Indonesia, kata Guru Besar Fakultas Sosiologi itu, nilai-nilai agama, iman, takwa, Pancasila dan kebudayaan luhur bangsa mungkin butuh didesain ulang, direkonstruksi, atau dikonstruksi dengan pola pikir dan pendidikan modern universal yang copy paste dari kemajuan dan alam pikiran Barat.
”Pendidikan Barat memang kuat dalam pengembangan iptek dan humanity, tapi mereka punya pengalaman buruk dengan agama,” jelas Haedar.
Karena itu, Haedar meminta, agar perbedaan latar belakang dalam tradisi keilmuan Barat yang bersifat tragedi dan trauma terhadap agama abad Pertengahan, sehingga bersifat liberal, sekuler dan ateistik itu disaring sebelum diadopsi oleh Indonesia yang tidak memiliki pengalaman sejarah yang sama.
“Lalu mereka (Barat) ingin keluar dari teosentrisme pada antroposentrisme. Dan itulah yang menjadi pondasi dari alam pikiran kemajuan Barat. Entah tu disebut sebagai pencerahan, modernitas dan lain sebagainya,” imbuh Haedar.
Meski meminta selektif serta menyaring sekularisme dan liberalisme dalam dunia pendidikan, Haedar juga mewanti-wanti agar pendidikan nasional tidak terjatuh ke arah yang sebaliknya, yakni pendidikan ala kelompok agama tertentu yang sejatinya lahir karena reaksi antitesis terhadap hegemoni kemajuan pendidikan modern Barat yang sekuler dan liberal.
Corak pendidikan agama yang lari dari antroposentrisme itu, menurut Haedar, uniknya kembali lagi ke arah masa kegelapan teosentrisme Barat di abad Pertengahan, meski peristilahan yang dipakai adalah ‘pendidikan rabbaniyah’ hingga ‘Islamisasi’. Hal-hal rumit seperti itu, sekali lagi, kata Haedar, diperlukan strategi kebudayaan yang matang.
“Kesimpulannya, pada lag itulah terletak benang kusut dunia pendidikan. Benang kusut dalam kita berbangsa dan bernegara. Bahkan, benang kusut dalam kita beragama. Maka, agar kita tidak masuk dalam benang kusut seperti itu, kita perlu rekonstruksi visi misi strategis pendidikan Indonesia dan visi misi strategis pendidikan Islam menghadapi masalah dan tantangan baru dan menghadapi masa depan yang lebih baik,” usul Haedar. (adi/red)