Soroti Harga Tiket KCJB, Ekonom: Tidak Bisa Diandalkan untuk Sustainable dan Sharing Profit

  • Bagikan
SUSAH BERTAHAN: Presiden Joko Widodo saat meninjau proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) belum lama ini. Harga tiket untuk Jakarta-Bandung itu diyakini tidak akan bisa menopang keberlangsungan KCJB bertahan lama.

INDOSatu.co – JAKARTA – PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mengumumkan mengenai biaya tiket kereta Jakarta-Bandung yang mana dipatok seharga Rp125 Ribu-Rp250 Ribu. Terkait penetapan harga kereta cepat ini, Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institue, angkat suara.

Menurut dia, harga tersebut menggiurkan dan menarik perhatian masyarakat dan pengusung program ini akan mendapat impresi dari masyarakat.

“Harga yang murah ini tentunya sangat menggiurkan dan membahagiakan bagi warga yang ingin bepergian menggunakan KCJB tersebut. Bisa-bisa tiket ludes terjual dalam waktu yang cepat. Dan pengusung program ini akan mendapat impresi dari masyarakat,” ujar Achmad dalam keterangan resmi yang diterima redaksi INDOSatu.co, Sabtu (26/11).

Baca juga :   Sorot Rp 300 Triliun Danantara, Pakar Ekonomi: Prabowo Terburu-buru

Meski demikian, menurut Achmad, murahnya harga tiket ini akan menimbulkan masalah yang serius. Ia menyebut harga tiket tersebut terlalu murah dan tidak rasional. Achmad menilai, dengan perhitungan yang ada, pendapatan yang akan masuk tidak dapat diandalkan untuk berbagi keuntungan.

“Tapi persoalannya adalah, harga yang murah tersebut dibawah harga rasional untuk bisa menutupi kebutuhan operasional dan pengembalian modal. Artinya, pendapatan yang akan masuk tidak dapat diandalkan untuk bisa sharing profit antara Indonesia dengan China,” tambahnya.

Baca juga :   Hadiri Gelar Seni dan Ekraf di TMII, Pj. Bupati Berharap Bisa Dongkrak Pasar UMKM Bojonegoro

Menurut Achmad, logikanya China tidak akan mau berinvestasi jika prospek keuntungannya tidak bisa diharapkan, kecuali Indonesia mengkompensasi kekurangan pendapatan dengan mengucurkan subsidi. Jika ini yang terjadi, maka pemerintah harus mengucurkan subsidi dalam waktu yang cukup lama.

BUMN yang semestinya memberikan pendapatan kepada negara malah menjadi beban yang berkelanjutan. Dan ini akan menjadi legacy beban dari rezim saat ini yang harus dipikul oleh rezim yang akan datang.

“Hal ini bisa kita lihat dari biaya pembangunan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCKB) yang tembus hingga US$7,9 miliar atau Rp 118,5 triliun (asumsi kurs Rp 15 ribu per dolar AS),” ungkapnya.

Baca juga :   Bahlil Sebut SoftBank Mau Menang Sendiri, Pengamat: Sebenarnya IKN Tak Layak Investasi

Dengan demikian, kata Achmad, sustainable dari KCJB diperkirakan tidak akan bertahan. Sementara biaya-biaya yang harus dikeluarkan akan sangat tinggi.

Jika hal-hal yang fundamental tidak terbiayai, maka nasib unit KCJB ini akan seperti Bus-bus Transjakarta zaman gubernur Ahok yang terbengkalai dan menjadi rongsokan. Kekhawatiran lainnya adalah jika pemeliharaan infrastruktur tidak ideal karena minim pendanaan, maka dikhawatirkan berakibat malfunction yang berakibat kepada kecelakaan dipastikan bakal menimbulkan korban jiwa. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *